Tokoh
Utama :
- Aku, (Lily)
- Dibyo
- Jon, (Josua)
- Lenny
- Reno
Fokoh
Figuran :
- GM, Wenny, kampret, Cindy
Sudah
lama aku mengenal tamuku yang bernama sebut saja Dibyo, seorang chinese yang
bekerja sebagai pemasaran di Maspion, dia merupakan salah satu tamu langgananku
yang pada mulanya adalah teman biasa di bisnis jual beli mobil bekas, pekerjaan
“sampingan” sekaligus kamuflase. Dia mengetahui profesiku yang lain secara
kebetulan tatkala diajak teman temannya untuk “hunting”, dan ternyata salah
satu gadis yang dibooking adalah aku, melalui seorang GM, jadi aku tidak
menyangka sama sekali kalau “kepergok” seperti ini, begitu juga diapun tak
menyangka bertemu aku dalam posisi seperti ini. Tentu saja kami berdua terkejut
tapi sama-sama tak mungkin mengelak.
Aku
kenal istri dan keluarganya, termasuk adik-adiknya karena kami memang sangat
dekat. Sungguh suatu keadaan yang sama sekali lain dan tidak disangka
sebelumnya, aku merasa begitu rikuh dan kulihat dia juga mengalami hal yang sama.
Ingin rasanya aku lari keluar kembali ke mobilku, tapi tentu saja si GM akan
kecewa dan mencoretku dari daftarnya, padahal GM itu banyak memberi orderan dan
aku tak ingin hal itu terjadi. Harapan satu satunya adalah aku tidak
melayaninya.
Dia
ditemani kedua temannya begitu juga aku dengan 2 gadis lain yang dikirim oleh
GM yang sama. Saat kami dikenalkan satu persatu, tertangkap sorot mata aneh
menatapku tajam, aku tak bisa menerjamahkan sorot mata itu, dengan tersipu malu
dan wajah bersemu merah aku memalingkan tatapanku dari sorotnya, tak sanggup
melawannya.
Tanpa
memberi kesempatan teman temannya, dia langsung memilih aku, membuatku semakin
bertambah rikuh, rasanya tak mungkin melakukan dengan orang yang selama ini
kukenal sebagai seorang teman dalam batas pertemanan, tak tega rasanya
menghianati Wenny, istrinya yang kuanggap sebagai seorang teman.
Berenam
kami menuju ke Stasium di Tunjungan Plaza, sepanjang jalan aku dan Dibyo
terdiam tanpa bicara, sejuta kecamuk dalam pikiran kami masing masing, tak tahu
harus mulai dari mana. Sungguh berbeda dengan kedua temannya yang banyak canda
dan tawa dengan kedua gadisnya.
Aku
tahu bahwa aku harus bertindak profesional, tapi dalam bisnis ini, emosi dan
perasaan tetap memegang peranan yang besar, itu manusiawi.
Keadaan
sedikit tertolong karena dia harus nyetir BMW-nya sehingga kekakuan kami tidak
terlalu terbaca teman temannya, mereka pasti pikir si Dibyo diam karena
konsentrasi pada setirannya, mereka tentu tidak memperhatikan bahwa tak
sejengkalpun tubuhku disentuhnya, tidak seperti mereka yang dibelakang yang
tangannya sudah menggerayang ke seluruh tubuh pasangannya masing masing.
Detak
pekik House musik dan geliat birahi para pengunjung di lantai dance tak mampu
mencairkan kekakuan di antara kami, bahkan saat lagu “Lemon Tree” kesukaanku
berkumandang nyaring, tetap tak mampu menggerakkan kakiku menuju lantai dansa,
begitu kaku, begitu juga Dibyo yang tak berani mengambil inisiatif mengajakku
turun, kalau saja dia mengajakku pasti aku tak kuasa untuk menolak tapi hal itu
tak terjadi. Padahal sudah sering kali aku turun sama dia saat bersama istrinya
ke diskotik.
Butir
butir extasi yang mereka bagikan, hanya kugenggam di tanganku. Kami sama sama
terpaku membeku dalam panasnya alunan hentakan house music.
Pukul
01.00 kami meninggalkan diskotik menuju Hotel Tunjungan yang hanya bersebelahan
dengan komplek pertokoan itu. Tiga jam yang panjang kualami penuh kebekuan, tak
seujung rambutpun dia menyentuhku apalagi mencium atau meraba tubuhku, meskipun
kesempatan itu sangat luas terbentang.
Ketika
kami memasuki kamar masing masing, kekakuan diantara kami masih ada bahkan
terasa semakin membeku. Aku tak tahu harus berbuat apa.
“Aku
nggak nyangka kalau kita bisa bertemu dalam keadaan seperti ini” katanya
setelah menyalakan Marlboronya, inilah kata pertama yang ditujukan padaku sejak
ketemu 4 jam yang lalu.
“Aku
juga” jawabku singkat sedikit bergetar, keringat dingin mulai membasahi telapak
tanganku, kebiasaan kalau aku dalam keadaan gugup.
“Selanjutnya
gimana nih” tanyanya, entah pura pura atau memang karena rikuh.
“Terserah kamu saja, aku ikut” jawabku masih bergetar.
“Terserah kamu saja, aku ikut” jawabku masih bergetar.
Dibyo
beranjak dari tempat duduknya menghampiriku, dia duduk disampingku, jantungku
berdetak kencang dan semakin kencang saat dia memelukku. Bukan pertama kali dia
memelukku seperti ini, bahkan mencium pipiku pun sudah sering dia lakukan
meskipun di depan istrinya, tapi semua itu tentu saja dalam konteks yang lain.
Aku
hanya diam saja sambil meremas tanganku semakin erat ketika dia mulai mencium
pipiku, sungguh terasa lain ciumannya dibandingkan sebelum sebelumnya, ada
getaran aneh menyelimuti hatiku, kembali aku tak tahu harus berbuat apa.
Ciuman
Dibyo sudah menyusur ke leherku, kurasakan tangannya gemetar saat mulai
mengelus elus buah dadaku, jantungku semakin berdetak kencang saat tangan
gemetar itu menyusup dibalik kaosku, terasa dingin ketika menyentuh kulit buah
dadaku.
Sesaat
aku hanya terdiam saat bibirnya mulai menyentuh bibirku, dilumatnya dengan
lembut bibir merahku sembari menuntun tanganku ke selangkangannya, terasa
menegang. Tanpa kusadari ternyata dia sudah membuka resliting celananya hingga
tanganku langsung menyentuh kejantanannya yang masih terbungkus celana dalam.
Aku
mulai membalas kulumannya ketika tanganku sudah menyusup dibalik celana
dalamnya dan mulai meremas remas kejantanan sobatku ini.
Menit
menit selanjutnya terlupakan sudah siapa Dibyo sebelumnya, terlupakan sudah si
Wenny istrinya yang cantik, aku kembali berada dalam duniaku, seorang gadis
panggilan yang sedang bekerja memuaskan tamunya, meskipun demikian aku masih
tak tega memandang wajah gantengnya, setiap kali kulihat wajahnya aku selalu
teringat akan istrinya, jadi aku selalu berusaha untuk memalingkan wajahku atau
memejamkan mata saat wajah kami berhadapan.
Harus
kuakui ternyata Dibyo seorang yang sabar dan romantis, kuluman pada bibir dan
putingku serasa begitu nikmat dan penuh perasaan, akupun tanpa malu mulai
mendesah nikmat dalam buaian sobatku.
Perlu
hampir 1 jam bagi kami untuk saling menelanjangi, tubuh bugil kami sudah beralih
ke atas ranjang, Dibyo melanjutkan ciumannya pada sekujur tubuhku tapi
tampaknya masih ada keraguan untuk menjilati selangkanganku, begitu juga aku,
seakan ada penghalang yang mencegahku mengulum penisnya.
Ketika
tubuh telanjangnya hendak menindihku, tiba tiba terdengar bunyi telepon. Dengan
agak malas dia mengangkat telepon, rupanya teman temannya telah lama
menyelesaikan satu babak, padahal kami baru akan mulai. Mereka menanyakan
apakah akan melanjutkan hingga pagi, dia menanyaiku dan kujawab terserah. Akhirnya
diputuskan untuk nginap.
Sebelum
kembali ke pelukanku, Dibyo mengambil HP dan menghubungi istrinya untuk
memberitahu kalau dia pulang pagi dengan alasan menemaniku di diskotik, entah
apa dalam benak Wenny karena tidak ada iringan musik pada backgroundnya. Kami
memang sering ke diskotik sama sama hingga menjelang pagi jadi bukan sekali ini
Dibyo pulang pagi. Dia memberikan HP-nya kepadaku.
“Hai
Wen, sorry malam ini aku pinjam suamimu tanpa permisi” kataku.
“Ya udah, tolong jaga dia jangan sampai lupa pulang, yang penting pulang dengan selamat biar dengan botol kosong” katanya ditutup dengan ketawa ciri khasnya, kami memang sudah biasa bergurau bebas, aku jadi semakin merasa bersalah melihat begitu percayanya dia padaku. Tapi ini adalah bisnis bukan aku berselingkuh dengan suaminya tapi dia yang mem-bookingku, hiburku dalam hati.
“Ya udah, tolong jaga dia jangan sampai lupa pulang, yang penting pulang dengan selamat biar dengan botol kosong” katanya ditutup dengan ketawa ciri khasnya, kami memang sudah biasa bergurau bebas, aku jadi semakin merasa bersalah melihat begitu percayanya dia padaku. Tapi ini adalah bisnis bukan aku berselingkuh dengan suaminya tapi dia yang mem-bookingku, hiburku dalam hati.
Dibyo
kembali menghampiriku yang masih telentang telanjang di atas ranjang, kami
harus mulai lagi dari awal. Kali ini tiada lagi keraguan diantara kami meski
aku tetap tak bisa menatap wajahnya. Dengan memejamkan mata, kusambut lumatan
bibirnya sembari meremas remas kejantantannya yang sudah lemas. Dia mulai
berani mendesah, akupun demikian saat bibirnya mendarat di puncak bukitku.
Kujepit
pinggangnya dengan kakiku saat sedotannya semakin kuat sambil menyapukan kepala
penisnya ke bibir vaginaku, kubuka sedikit mataku menatapnya, ternyata dia
menatapku dengan penuh perasaan, tak sanggup aku menatapnya lebih lama, kututup
kembali mataku rapat rapat dan semakin rapat saat penisnya mulai menerobos
memasuki liang vaginaku.
Entahlah,
tidak seperti pada tamuku lainnya, kali ini kurasakan getaran getaran aneh
menyelimuti diriku, semakin dalam penis itu melesak masuk, semakin keras
getaran itu seiring kerasnya degup jantungku yang berdetak kencang. Aku telah
menodai persahabatan yang selama ini kubangun, aku telah menghianati Wenny yang
begitu percaya padaku. Tapi perasaan nikmat dan semakin nikmat perlahan
mengusir rasa bersalah dan segala keseganan antara aku dan Dibyo.
Kejantanan
Dibyo perlahan penuh perasaan mengocokku diiringi cumbuan dan lumatan pada
bibirku yang kubalas dengan tak kalah gairahnya, dan akupun semakin kelojotan
dalam dekapan hangat suami sahabatku ini takkala ciumannya menyusuri leherku.
Berdua
kami mengayuh biduk birahi menyeberangi lautan nafsu, lenguh dan desah
kenikmatan mengiringi perjalanan kami. Beberapa menit kemudian kamipun telah
sampai ke seberang kenikmatan, hanya berselang beberapa detik setelah Dibyo
menumpahkan semua cairan birahinya ke rahimku, aku menyusulnya menggapai puncak
kenikmatan dari suami sobatku.
Tubuh
lemasnya langsung terkulai menindihku, napas kami menyatu mengiringi denyut
jantung yang berdetak kencang, hembusan napasnya menerpa telingaku, aku kembali
terbuai akan kehangatannya meski perlahan gairah kami mulai menurun.
Beberapa
saat suasana hening, entah apa yang berkecamuk dalam pikirannya, apakah
menyesal telah meniduri temannya ataukah puas telah menikmati tubuhku, hanya
dia yang tahu. Bagiku tugas melayani seorang tamu telah kulaksanakan, kebetulan
dia adalah teman dan suami sobatku, itu adalah diluar kehendak kami masing
masing.
Mungkin
karena sama sama segan, permainan kami biasa biasa saja, bahkan relatif
singkat, tak ada pergantian posisi seperti umumnya, baik dari dia maupun dari
aku sendiri.
Jarum
jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi ketika telepon berbunyi, dengan segan Dibyo
menerima, yang pasti dari temannya di kamar sebelah.
“Hei,
kamu yang ke sini atau aku yang ke sana, si kampret satu itu sudah pulang
soalnya” kata suara dari seberang sayup sayup kudengar, aku tak tahu maksudnya.
“Kali ini nggak bisa Jon, kita sendiri sendiri aja deh” jawabnya.
“Kok kamu gitu sih, mentang mentang dapat yang si cantik Lily terus nggak mau berbagi, kawan macam apa itu” dari seberang terdengar dengan nada tinggi, aku masih nggak tahu maksudnya.
“Kali ini nggak bisa Jon, kita sendiri sendiri aja deh” jawabnya.
“Kok kamu gitu sih, mentang mentang dapat yang si cantik Lily terus nggak mau berbagi, kawan macam apa itu” dari seberang terdengar dengan nada tinggi, aku masih nggak tahu maksudnya.
Dibyo
diam sejenak, menatapku dalam dalam seakan hendak mengatakan sesuatu.
“Dia
mau ke sini” katanya pelan.
“Emang
sudah selesai? Mau check out? Malam malam begini? Tanggung amat” tanyaku nggak
ngerti.
“Enggak,
mau pindah bergabung ke sini sama ceweknya”
“Pindah?
Bergabung? Trus?” tanyaku semakin tak mengerti.
Dia
diam sejenak.
“Trus..
Trus.. Ya disini.. Ber.. Berempat” jawabnya terpatah patah, kulihat mimik muka
bersalah di wajahnya.
“Sorry
ya, aku telah membawamu ke situasi seperti ini, sudah kebiasaan untuk bertukar
pasangan atau bersamaan pada akhirnya” lanjutnya sambil mengepulkan asap rokok
dari mulutnya, sepertinya untuk menutupi rasa bersalahnya.
Sebenarnya
aku tidak keberatan melakukan hal itu, toh sudah sering kulakukan, tapi ini di
depan Dibyo, ada keengganan tersendiri yang menjadi penghalang, entahlah
perasaan jaga image masih kuat kurasakan. Disamping itu, aku agak kaget
mendapati kenyataan bahwa Dibyo yang kukenal cukup pendiam, meski aku cukup yakin
sebelumnya dia bukan tipe suami yang setia, ternyata menjalani petualangan
seperti ini dengan teman temannya, sungguh jauh dari penampilan keseharian yang
terkesan pendiam.
“Terserah
kamu saja lah, toh kamu boss-nya” jawabku lirih berusaha memberi kesan
terpaksa, takut kalau dia tahu kalau aku sudah sering melakukan permainan
seperti ini.
“Ly,
kamu boleh menolak, bebas kok, paling resikonya aku dijauhi teman teman dan
dibilang egois”
“Janganlah
kalau sampai ditinggal teman teman hanya masalah beginian, malu kan” aku
menghibur.
“Sebenarnya
aku nggak rela kalau kamu harus melayani orang lain, apalagi dihadapanku, tapi
semua terserah kamu deh”
Aku
diam sejenak memikirkan kalimat yang “innocent” untuk menjawab kata IYA, tak
tega rasanya mengatakan kalau selama ini akupun selalu melayani orang lain, apa
bedanya dengan sekarang.
“Okelah
kalau itu maumu” jawabku sembari mengambil rokok yang ada di jarinya, kulihat
sorot mata aneh dari matanya.
“Jon,
kamu ke sini aja deh” akhirnya dia meminta temannya untuk datang.
Sambil
menunggu kedatangan si Josua, aku mandi membersihkan tubuh terutama vaginaku
dari sisa sisa keringat maupun sperma Dibyo.
Tak
lebih 10 menit kemudian, teman Dibyo sudah berada di kamar, ternyata gadis yang
datang bersamanya adalah Lenny, bukan Cindy yang tadi bersamanya, rupanya dia
telah melakukan pertukaran dengan sebelumnya.
“Len,
bukannya dia tadi sama Cindy, kok sekarang sama kamu, sudah tukeran rupanya ya”
bisikku ketika aku dan Lenny berada di kamar mandi berdua.
“Gila tuh si Josua, kuat banget, dan malam ini dia bakal dapat 3 cewek berurutan” bisiknya pelan.
“Gila tuh si Josua, kuat banget, dan malam ini dia bakal dapat 3 cewek berurutan” bisiknya pelan.
Kamipun
tertawa cekikan di kamar mandi.
Dengan
berbalut handuk di dada, aku dan Lenny keluar kamar mandi, Dibyo duduk di sofa
sementara Josua sudah telentang di ranjang, keduanya sudah dalam keadaan
telanjang.
Lenny
langsung mengambil posisi di antara kaki Dibyo, aku mau tak mau harus langsung
menuju ranjang melayani Josua. Kejantanan Josua yang sudah tegang memang
mengagumkan, meski tidak terlalu panjang tapi cukup besar diameternya dengan
hiasan otot melingkar terlihat semakin kokoh.
Josua
langsung menarik tubuhku dalam pelukannya, dilemparkannya handuk penutup
tubuhku dan tubuh telanjang kami saling berangkulan.
Kubalas
lumatan bibirnya dengan tak kalah gairah, desahankupun terlepas bebas tatkala
bibir dan lidahnya mempermainkan kedua putingku bergantian. Sesaat kulirik
Dibyo sudah merem melek menikmati sapuan bibir mungil Lenny pada penisnya
sambil meremas remas kedua buah dadanya yang sedikit lebih besar dari punyaku.
Sudah sering kudengar kemahiran Lenny dalam ber-oral, kini kulihat sendiri
bagaimana bibirnya menyusuri penis Dibyo dengan bergairah.
Perhatianku
kembali beralih ke Josua saat dia membalik tubuhku dibawahnya, lidahnya dengan
lincah menari nari dikedua putingku, menyusur turun hingga selangkangan dan
kembali bergerak liar saat mendapati klitorisku. Kombinasi antara jilatan dan
kocokan jari jari tangannya di vagina membuatku menggeliat dan mendesah dalam
nikmat sambil meremas remas kepala Josua yang berada di selangkanganku.
Tiba
tiba aku dikagetkan teriakan Lenny, rupanya aku terlalu asik melayang layang
hingga tak memperhatikan mereka telah berganti posisi, kepala Dibyo sudah
berada di antara paha Lenny sedang asik menjilati vaginanya, ternyata itu yang
membuat Lenny menjerit nikmat.
Meskipun
cumbuan permainan oral Josua begitu nikmat, aku banyak membagi perhatianku pada
Dibyo dan Lenny, sekedar ingin tahu bagaimana permainan Dibyo bila dengan gadis
lain setelah aku mengalami dengannya biasa biasa saja. Baru sekarang aku tahu
ternyata Dibyo juga seorang great fucker, dengan telaten dia menyusuri seluruh
lekuk tubuh Lenny dengan lidahnya, bahkan hingga jari jari kaki tak luput dari
sapuan lidahnya, terang saja membuat Lenny kelojotan tak karuan. Andai saja dia
tadi melakukannya padaku. Beruntunglah Wenny bisa mendapatkan cumbuan seperti
itu setiap saat.
Perhatianku
terganggu saat tubuh Josua sudah mekangkang di atas dadaku, menyodorkan
kejantanannya ke mukaku, segera kuraih, kukocok sejenak dengan tanganku lalu
kujilati kepala penisnya, terasa asin akan cairan yang sudah menetes keluar.
Beberapa detik kemudian penis Josua sudah lancar mengisi mulutku, keluar masuk
mengocoknya.
Puas
mengocokkan penisnya ke mulutku, Josua bergeser ke bawah, mengatur posisinya
diantara kakiku, aku membuka lebih lebar saat kepala penisnya menyapu bibir
vagina dan perlahan menyeruak membelah celah celah sempit liang kenikmatanku.
Perlahan tapi pasti penis itu melesak semakin dalam, namun gerakan penetrasi
terganggu ketika Dibyo dan Lenny berpindah ke ranjang di samping kami sehingga
mengharuskan kami sedikit bergeser memberi tempat pada mereka. Terpaksa Josua
menarik keluar penisnya yang sudah setengah jalan menyusuri liang kenikmatanku.
Aku
dan Lenny telentang berdampingan dengan kedua laki laki sudah siap diantara
selangkangan kami masing masing. Namun sebelum Josua melesakkan kembali
penisnya, Dibyo bergeser ke kepalaku, menyodorkan penisnya tepat di atas
mulutku. Segera kuraih dan kumasukkan ke mulutku, hal yang tadi tidak kami
lakukan, bersamaan dengan penis Josua mulai meluncur masuk liang vaginaku.
Sesaat kuhentikan kulumanku ketika Josua sudah melesakkan seluruh batang
kejantanannya, terasa penuh dibandingkan dengan Dibyo sebelumnya. Akupun
melanjutkan kulumanku pada Dibyo ketika Josua memulai kocokannya. Hanya
beberapa menit Dibyo mengocok mulutku kemudian beralih ke mulut Lenny, rupanya
dia hendak membandingkan antara kulumanku dengan Lenny.
Tubuh
Josua sudah menindihku, sodokan penisnya semakin cepat dan keras penuh nafsu
gairah, akupun mengimbangi dengan jeritan dan desahan nikmat sembari
menjepitkan kakiku di pinggangnya. Bibir Josua tak pernah lepas dari tubuhku,
menyusur leher, pipi, bibir lalu kembali ke leher.
Kulihat
Dibyo masih mengocok bibir Lenny sambil memperhatikan expresi kenikmatan yang
terpancar di wajahku, expresi yang tidak aku tunjukkan saat bersamanya dan aku
yakin dia mengetahui itu, sesekali jari tangannya dimasukkan ke mulutku yang
tengah menengadah mendesah, akupun membalas dengan kuluman dan mempermainkan
lidahku pada jari jarinya.
Berulangkali
tubuhku terhentak terkaget tapi nikmat merasakan hentakan keras dari Josua,
kudekap tubuhnya semakin rapat seakan tubuh telanjang kami menyatu dalam
nikmatnya birahi.
Josua
mengangkat tubuhnya, masih tetap mengocokku dengan tubuh setengah jongkok,
justru kurasakan penisnya semakin dalam tertanam. Bersamaan dengan itu, Dibyo
sudah berada di antara kaki Lenny bersiap melesakkan penisnya tapi dia tidak
langsung memasukkannya, justru lebih suka melihat wajahku yang tengah mendesah
sambil mengamati bagaimana penis temannya keluar masuk menyodok vagina sobat
istrinya ini.
Aku
sudah tak memperhatikan lebih jauh lagi karena sodokan Josua semakin liar dan
nikmat, namun kemudian kudengar desah dan jerit kenikmatan dari Lenny
mengiringi desahanku. Dengan irama goyangan yang berbeda, kedua laki laki itu
mengocok kami berdua, simfony desah kenikmatan memenuhi kamar yang penuh aroma
birahi. Kutatap wajah ganteng Josua yang penuh expresi nikmat birahi. Berulang
kali tatapan mataku beradu pandang dengan Dibyo, rupanya meskipun sedang
mengocok Lenny yang cantik, tapi tatapan matanya lebih sering tertuju pada
wajahku yang tengah mendesah nikmat merasakan kocokan temannya, apalagi Josua
mengocokku dengan gerakan yang liar dan tak beraturan diselingi dengan hentakan
keras yang membuatku menjerit jerit nikmat.
Josua
membalik tubuhku disusul kocokan dari belakang, posisi dogie, Dibyo
mengikutinya. Begitu juga ketika kami berganti lagi posisi, aku di atas, diapun
meminta Lenny untuk di atas.
Kami
bercinta seolah berlomba ketahanan, entah sudah berapa lama dan berapa kali
ganti posisi telah kami lakukan. Diluar dugaanku, ternyata Dibyo bisa bertahan
lebih lama, ketika kami di posisi dogie, Josua tak bisa bertahan lebih lama
lagi, tanpa bisa dicegah lagi, diapun memuntahkan spermanya di vaginaku
diiringi teriakan kenikmatan, kurasakan denyutan denyutan nikmat menerpa
dinding dinding vaginaku meski tidak terlalu kuat.
Beberapa
saat kemudian Josua menarik keluar penisnya, akupun menggelosor tengkurap
dengan napas yang menderu setelah permainan panjang. Belum sempat aku mengatur
napasku, Dibyo menarik pantatku, memintaku kembali nungging, meskipun capek
tapi aku tak tega menolaknya, sepertinya sedari tadi dia sudah memendam
keinginan untuk kembali menikmati tubuhku.
Aku
hendak mencegahnya saat penisnya sudah di ambang pintu vaginaku, nggak enak
rasanya kalau dia harus menyetubuhiku sementara sperma Josua masih di dalam,
aku ingin membersihkan dulu, tapi terlambat, sepertinya dia tak peduli, dengan
sekali dorongan keras, penis Dibyo kembali memasuki liang vaginaku, terasa
masih ada celah kosong saat penisnya melesak semuanya.
Berbeda
dengan sebelumnya, tanpa membuang waktu lagi, kali ini Dibyo mengocokku dengan
penuh nafsu, begitu keras dan cepat sambil menghentakkan tubuhnya pada
pantatku, diiringi tarikan pada rambutku, sungguh liar permainannya kali ini,
sangat berlawanan dengan yang tadi. Akupun tak mau kalah, kuimbangi dengan
menggoyangkan pantatnya melawan gerakannya, desahan kami berdua saling
bersahutan, kecipuk suara cairan vagina bercampur sperma tak kami hiraukan,
terlupakan sudah bahwa Dibyo adalah suami dari sobat karibku, yang ada hanyalah
nafsu dan birahi diantara kami.
Aku
minta mengubah posisi, kali ini aku di atas, ingin kutunjukkan bagaimana
goyangan pinggulku membobol pertahanan terakhirnya. Dengan sisa sisa tenaga
karena aku sudah beberapa kali orgasme saat dengan Josua tadi, akupun bergoyang
liar di atasnya, ingin kuberikan apa yang kuyakin belum pernah dia alami
bersama Wenny, istrinya, entah kenapa aku jadi ingin membuktikan bahwa aku tak
kalah dengan si istri yang sobatku itu.
Kami
bercinta dengan penuh gairah, jauh melebihi apa yang telah kami lakukan tadi,
sepertinya kami sudah mengeluarkan watak asli permainan kami yang cenderung
liar.
Keringat
sudah membasahi tubuh kami berdua, aku begitu bersemangat, begitu juga dia, tak
kuhiraukan ternyata justru aku yang mencapai orgasme lebih dulu, sungguh luar
biasa stamina Dibyo, jauh dari perkiraanku, kalau aku tak mengalami sendiri
tentu sulit untuk percaya bahwa dia begitu perkasa di ranjang.
Menit
demi menit berlalu hingga aku tak kuasa lagi menahan orgasme yang kesekian
kali, sementara dia masih belum terlihat tanda tanda ke arah sana, dan akhirnya
akupun menyerah dalam dekapannya.
“Sudah..
sudah.. Ah.. Ampun, aku menyerah”, dan akupun terkulai lemas di atasnya, tak
mampu lagi menggoyangkan pinggulku.
“Ya
sudah, istirahat sana” katanya seraya mendorong tubuhku turun dari atasnya, dan
akupun menggelepar di sampingnya.
Permainan
Dibyo tidak berhenti sampai disitu, dia menghampiri Lenny yang dari tadi
mengamati kami bercinta sambil berbaring di atas ranjang sembari mempermainkan
klitorisnya. Begitu Dibyo menghampirinya, Lenny langsung mengambil posisi
telentang dengan kaki terbuka lebar, tapi Dibyo justru memintanya nungging.
Dengan irama kocokan yang liar dia mengocok Lenny dengan posisi dogie.
Aku
meninggalkan mereka, membersihkan sperma lalu menyusul Josua duduk di sofa
mengamati permainan Dibyo dan Lenny, terus terang aku terkagum dengan
keperkasaan sobatku ini, entah bagaimana Wenny bisa melayani suaminya itu
sendirian kalau di rumah.
“Gila
itu orang, kuat banget mainnya” komentarku sembari berbagi Marlboro dengan
Josua.
“Dia
sih paling kuat diantara kelompok kami berlima, hampir tak pernah dia booking
cewek sendirian, biasanya langsung 2 orang, kalau nggak gitu kasihan ceweknya”
jawab Josua mengagetkanku, sungguh jauh dari penampilan biasanya yang terlihat
pendiam.
Cukup
lama mereka bercinta di atas ranjang, sudah beberapa kali berganti posisi
sebelum akhirnya mereka menggapai orgasme hampir bersamaan ketika posisi Dibyo
sedang di atas.
Mereka
berpelukan beberapa saat sebelum Dibyo turun dari tubuh Lenny, tampak wajah
kepuasan bercampur kelelahan dari mereka.
Beberapa
menit mereka sama sama menggelepar di atas ranjang sambil mengatur napas yang
menderu. Dibyo berdiri menghampiriku, duduk menjepit aku dan Josua, diambilnya
Marlboro yang ada di tanganku dan menghisapnya kuat kuat.
“Sorry
Ly, aku harus segera pulang, ntar istriku curiga dan aku nggak boleh ke diskotik
lagi” katanya sambil mengepulkan asap rokoknya.
“Kamu tinggal aja disini nemenin Josua dan Lenny besok siang aku telepon lagi, oke?” lanjutnya.
“Kamu tinggal aja disini nemenin Josua dan Lenny besok siang aku telepon lagi, oke?” lanjutnya.
Aku
hanya diam saja tak tahu harus ngomong apa, tanpa menunggu jawaban dariku, dia
beranjak mengenakan pakaiannya tanpa membersihkan tubuh terlebih dahulu.
Dibyo
memanggilku ke kamar mandi.
“Sebenarnya
aku tak tega melakukan ini, tapi harus kulakukan, apa yang kita lakukan barusan
hanyalah sekedar bisnis, nothing personal, dan tidak ada yang berubah di antara
kita termasuk dengan Wenny maupun Reno adikku, kamu ngerti kan” katanya sembari
memberikan segebok uang 50 ribuan. Aku hanya mengangguk tanpa kata, 100 persen
setuju apa yang dia katakan.
“Boleh
aku minta satu hal?” tanyaku.
“Apa
itu?” jawabnya, tanpa menunggu lagi reaksinya aku jongkok di depannya, kubuka
resliting celananya dan kukeluarkan penisnya yang lemas.
“Sekedar tip, memberi apa yang belum aku berikan” jawabku sambil memasukkan penis itu ke mulutku.
“Sekedar tip, memberi apa yang belum aku berikan” jawabku sambil memasukkan penis itu ke mulutku.
Dibyo
diam saja, penisnya kupermainkan dengan lidahku, kususuri sekujur batang hingga
pangkalnya, perlahan mulai menegang dalam genggaman dan mulutku, selanjutnya
penis tegangnya sudah meluncur cepat keluar masuk mengisi rongga mulut diiringi
desah kenikmatan.
Lima
menit sudah aku melakukan oral, tanpa kusadari tanganku ikutan mempermainkan
klitorisku sendiri seiring dengan kocokan pada mulutku. Aku tak kuasa
menolaknya ketika dia menarik tubuhku berdiri dan memutar menghadap cermin di
kamar mandi, dengan sedikit membungkuk, dari belakang Dibyo melesakkan penisnya
ke vaginaku.
“Kita
quickie saja yaa” bisiknya seraya mendorong masuk penisnya, segera kurasakan
sodokan demi sodokan yang semakin keras dari belakang menghantamku diiringi
dekapan dan remasan dikedua buah dadaku, sesekali ciuman pada tengkukku yang
membuatku semakin menggeliat dalam dekapannya.
Pantulan
bayangan kami di cermin membuat suasana semakin bergairah, apalagi belaian
lembut pada rambutku yang kurasakan begitu penuh perasaan meski kocokannya
makin menjadi jadi.
“Aku
mau keluar” bisiknya beberapa menit kemudian, segera kudorong tubuhnya mundur
hingga penisnya terlepas dan akupun langsung jongkok di depannya.
“Keluarin
di mulut” kataku, tanpa menunggu reaksinya, kumasukkan kejantanannya kembali ke
mulutku, entah kenapa rasanya aku ingin memberikan apa yang kuyakin belum
pernah dia dapatkan dari istrinya. Dan tak lama kemudian diapun menyemprotkan
sisa sisa spermanya di mulutku, kujilati batang kejantanannya hingga bersih
lalu kumasukkan ke celananya.
“Salam
untuk Wenny” kataku saat menutup reslitingnya, dia hanya tersenyum mencubit
pipiku.
Aku
membersihkan tubuhku dengan air hangat ketika Dibyo pamit pulang, ketika aku
kembali ke kamar, ternyata Lenny sedang bergoyang pinggul di pangkuan Josua,
mereka melakukannya di sofa. Kuhampiri mereka dan duduk di samping Josua, dia
meraih tubuhku dan mencium bibirku, sembari tangannya meremas remas buah dadaku
bergantian.
Sisa
malam kami habiskan dengan penuh birahi, bergantian Josua menyetubuhi aku dan
Lenny, dilayani 2 gadis cantik dan sexy seperti aku dan Lenny, tentu membuat
laki laki bertambah gairah dan ada tambahan energi tersendiri untuk menunjukkan
ego keperkasaannya. Akhirnya kondisi fisik jualah yang menjadi pembatas antara
keinginan dan kenyataan, kamipun istirahat dan terlelap dalam kelelahan tatkala sang mentari sudah menampakkan
sedikit berkas sinarnya di ufuk timur, entah jam berapa itu.
Aku
terbangun saat kudengar HP-ku berbunyi, Lenny dan Josua masih terlelap
disampingku, matahari sudah tinggi, terang menampakkan sinarnya. Ternyata salah
seorang tamu langganan lain yang ingin kutemani makan siang nanti, orderan
baru.
Jarum
jam menunjukkan hampir ke angka 11, cukup lama kami tertidur tadi.
Perlahan
kutinggalkan Josua dan Lenny, aku mandi untuk bersiap menemui tamuku berikutnya
di Hotel Westin (sekarang JW Marriot) di Embong Malang. Josua dan Lenny baru
bangun ketika aku sudah rapi berpakaian dan ber-make up.
“Sorry,
aku ada janji siang ini, aku tinggal dulu ya” sapaku.
“Kamu tetap sexy meski sudah berpakaian, bahkan semakin membuat penasaran yang melihatnya” jawab Josua sambil menghampiriku, dipeluknya tubuhku dari belakang dan diremasnya buah dadaku.
“Kamu tetap sexy meski sudah berpakaian, bahkan semakin membuat penasaran yang melihatnya” jawab Josua sambil menghampiriku, dipeluknya tubuhku dari belakang dan diremasnya buah dadaku.
“Wah
banyak orderan nih” celetuk Lenny.
“Selamat
bekerja sayang” bisik Josua tanpa melepaskan tangannya dari dadaku.
“sudah ah, ntar kusut pakaianku ini, aku nggak bawa ganti nih” jawabku sambil menggelinjang karena bibirnya sudah menempel di telingaku, akupun menghindar menjauh.
“sudah ah, ntar kusut pakaianku ini, aku nggak bawa ganti nih” jawabku sambil menggelinjang karena bibirnya sudah menempel di telingaku, akupun menghindar menjauh.
Setelah
menerima pembayaan dari Josua, akupun meninggalkan mereka yang masih telanjang
menuju ranjang lain dengan permainan yang lain pula.
Sejak
kejadian itu, sengaja atau tidak, aku jarang bertemu berdua dengan Dibyo
seperti sebelumnya, begitupun dengan istrinya, rasanya nggak ada muka untuk
ketemu Wenny, kalaupun mereka ngajak jalan bareng, aku pastikan harus ada
istrinya, selebihnya semua berjalan seperti biasa.
Akibatnya,
aku justru lebih dekat dengan si Reno, adiknya yang terkenal Playboy itu,
dengan wajah yang imut tak susah baginya untuk mendapatkan cewek dan aku yakin
sudah tak terhitung cewek yang jatuh ke pelukannya dan berhasil dia bawa ke
ranjang.
Lebih
2 bulan setelah kejadian itu, aku makan siang berdua dengan Reno di Bon Cafe,
sungguh sial ternyata ketemu sama Josua yang menggandeng seorang gadis, atas
ajakan Reno mereka akhirnya bergabung dengan table kami.
Kamipun
makan sambil ngobrol berempat, entah keceplosan atau disengaja, Josua bercerita
betapa hebat permainanku di ranjang, terutama permainan oral, dia kira aku
sudah pernah melakukan dengan Reno. Reno yang selama ini mengenalku sebagai
teman menatapku seakan tak percaya, aku menghindari tatapannya sambil mengumpat
kelancangan Josua, tentu saja dalam hati.
“Selamat
bersenang senang, sorry aku nggak bisa gabung dengan kalian, ada acara sama
dia” kata Josua sambil menunjuk gadis disebelahnya.
“Dia
senang rame rame lho, tanya Dibyo kalo kamu nggak percaya” bisiknya lagi
sebelum meninggalkan kami.
Aku
terdiam dengan muka memerah, malu karena kedokku dibongkar dihadapan temanku
sendiri.
Sepeninggal
Josua kami terdiam, entah apa yang terlintas dalam benaknya, kulirik sesaat,
ternyata Reno melototi tubuhku, seakan berusaha menembus dibalik pakaianku.
“Kita
pulang yuk” ajakku melihat suasana sudah nggak enak lagi.
“Lho,
katanya mau shopping di Galaxy”
“Nggak
jadi ah, lain kali aja” tolakku, dan kamipun beranjak pergi.
Sepanjang
jalan kami sama sama terdiam hingga tiba didepan tempat kos, aku langsung turun
tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Beberapa
hari kemudian setelah aku selesai melayani tamu di Hotel Sheraton, kulihat
missed call di HP-ku, dari Dibyo, entah kenapa aku kok ingin meneleponnya,
padahal biasanya aku cuekin saja missed call dari dia.
“Ly,
ketemu yuk, kangen nih” katanya dengan suara memelas tak seperti biasanya,
pasti dia lagi ada maunya, dan aku yakin maunya tak jauh dari urusan ranjang.
Meski
aku berusaha menghindari hal seperti ini, tapi tak dapat dipungkiri akupun
merindukan keperkasaannya di atas ranjang, apalagi tamuku barusan tidak bisa
memuaskanku, jadi sebenarnya ini hanyalah masalah timing yang tepat. Setelah
berpura pura menolak dan dia terus merayu, akhirnya aku sanggupi permintaannya.
“Oke
Hotel Sheraton kamar 816″
kataku karena tamuku tadi sudah pulang dan aku belum check out, sekalian saja
kumanfaatkan sisa waktu yang ada, daripada terbuang sia sia, check in mahal
mahal cuma dipakai 2 jam.
Baru
saja HP kututup, dia telepon lagi.
“Ly,
boleh nggak bawa teman”
Aku
yang sudah tergadai nafsu karena birahi yang tak tertuntaskan barusan hanya
mengiyakan tanpa tanya lebih lanjut siapa temannya.
Sambil
menunggu kedatangannya, aku segarkan tubuhku dengan air hangat, berendam
sejenak untuk menghilangkan rasa capek setelah hari ini melayani 3 tamu sejak
pagi tadi. Belum setengah jam aku berendam, bel pintu berbunyi, pasti Dibyo
sudah datang, pikirku.
Masih
dengan telanjang, kubuka pintu dan aku langsung kembali masuk bathtub.
“Tunggu
ya, aku mandi dulu biar segar dan wangi, santai saja anggap rumah sendiri”
jawabku meneruskan acara berendam tanpa buru buru menyelesaikan, kalau dia
nggak sabar pasti menyusulku ke kamar mandi. Ternyata dia tidak menyusulku
hingga kuselesaikan mandiku. Tanpa mengenakan penutup, dengan telanjang aku ke
kamar, bersiap untuk menumpahkan segala birahi dengan keperkasaan Dibyo.
“Aku
sudah siaap” teriakku sambil melompat ke ranjang, dan baru kusadari ternyata
yang duduk di sofa bukanlah Dibyo melainkan si Reno, adiknya.
Begitu
tersadar, aku berusaha menutupi tubuhku dengan apa yang ada disekitarku, tapi
terlambat, Reno sudah menubruk tubuh telanjangku dan menindihnya.
“Ly,
nggak usah sok alim, aku selalu membayangkan sejak diceritakan Josua tempo
hari, kebetulan saat kutanya Dibyo dia malah ngajak membuktikan” bisiknya
sambil menindih tubuhku, akupun tak bisa berontak.
Didekap
tubuh Reno yang atletis ditambah wajah imut yang menempel dekat wajahku, akupun
takluk akan kekuatannya, disamping itu akupun tak sungguh sungguh untuk berontak, hanya reaksi
spontan melihat laki laki yang tidak diharapkan melihat tubuh telanjangku.
“Oke..
Oke, mana Dibyo” tanyaku.
“Sebentar
lagi dia datang, aku disuruh tunggu di lobby tapi kupikir lebih baik langsung
aja aku bisa ngobrol sambil nunggu kedatangannya, ternyata aku mendapatkan
lebih dari yang kuharapkan” jawabnya sambil mengendorkan dekapannya.
Begitu
dekapannya longgar, kudorong tubuhnya hingga terjengkang telentang, ganti aku
menindihnya.
“Kalian
bersaudara memang nakal, ini namanya jebakan pada teman sendiri” kataku setelah
menguasai emosiku.
“Tapi
nggak marah kan?” jawab Reno, aku hanya menjawab dengan ciuman pada bibir Reno
dan dia membalas dengan bergairah, sedetik kemudian tangannya sudah berada di
dadaku, menjelajah dan meremas remas.
“Ih nakal ya” bisikku disela lumatan bibirnya.
“Ih nakal ya” bisikku disela lumatan bibirnya.
“Tapi
suka kan” balasnya, kulumat bibirnya sambil mempermainkan lidahku hingga
bertaut lidah dengan lidah.
Reno
kembali membalik dan menindih tubuhku, bibirnya beranjak menyusuri pipi dan
leherku, berhenti pada kedua puncak bukitku.
“Bagus..
Kencang dan padat.. Indah” pujinya sambil mengulum dan menyedot putingku.
Aku
mendesah geli meskipun cumbuannya tak sepintar kakaknya tapi cukup membuatku
mendesah melayang. Bibir dan lidahnya sudah sampai ke perut dan terus turun
hingga ke selangkangan, aku menjerit ketika lidahnya menyentuh klitorisku, tapi
dia justru semakin memperlincah gerakan lidahnya, dan akupun semakin menggeliat
dalam kenikmatan.
Aku
tak tahu mana yang lebih lihai bermain oral apakah dia atau kakaknya karena
Dibyo belum pernah melakukannya padaku, siapapun yang lebih pintar yang jelas
Reno telah membuatku melayang karena jilatannya pada vaginaku.
“Eh,
kamu kok masih pake pakaian gitu, curang deh, sini aku lepasin” kataku ketika
sadar bahwa dia belum melepas pakaiannya.
Kudorong
tubuh Reno hingga telentang lalu aku melucuti pakaiannya satu persatu hingga
menyisakan celana dalamnya yang tampak menonjol pada bagian selangkangan,
ketika kuraba dan kuremas tonjolan itu, begitu keras menegang. Segera kulorot
celana dalamnya dan aku terkaget melihat ukuran kejantanannya, tidak terlalu
panjang bahkan relativ lebih pendek dari umumnya tapi diameternya begitu besar,
tak cukup tanganku melingkarinya.
Membayangkan
penis besar itu akan memasuki vaginaku, tiba tiba otot vaginaku terasa
berdenyut denyut dengan sendirinya. Ini bukanlah penis terbesar yang pernah
kupegang, tapi dengan panjang yang tidak terlalu maka penis itu kelihatan
begitu gede di genggamanku, dan otot vaginaku semakin berdenyut keras melihat
postur tubuhnya yang berotot, ramping dan sexy, jauh lebih menggairahkan
tubuhnya dibandingkan kakaknya, apalagi rambut kemaluannya dicukur habis,
pentesan banyak gadis yang tergila gila padanya.
Kukocok
dan kuremas remas sebentar penis tegang di genggamanku, lalu kususuri lidahku
pada seluruh batang dari ujung hingga pangkal, dia mulai mendesis kenikmatan.
Agak
susah aku memasukkan penis itu ke mulutku tapi dengan segala usaha akhirnya
penis itupun bisa meluncur keluar masuk membelah bibir mungilku. Sembari
mendesah, tangannya tak henti menekankan kepalaku pada selangkangannya, seakan
memaksaku untuk memasukkan penisnya lebih dalam ke mulutku.
Kami
berganti posisi 69, aku di atas, tidak seperti saat pertama kali bercinta
dengan Dibyo yang penuh kecanggungan dan kekakuan, kali ini aku bebas lepas
mencurahkan segala expresiku untuk menikmati bercinta dengan Reno.
Gerakan
lidah Reno yang liar kubalas dengan sapuan liar pula pada penisnya, aku lebih
sering menjilati dari pada mengulum batang gede itu.
Puas
saling bermain oral, Reno kembali menelentangkan tubuhku, posisi tubuhnya sudah
siap untuk segera melesakkan penisnya. Jantungku tiba tiba berdetak kencang
seiring otot vaginaku berdenyut ketika kepala penis yang besar itu mulai
menyapu bibir vagina.
Aku
memejamkan mata sambil membuka kakiku lebar lebar menunggu apa yang akan
terjadi, entah sakit entah nikmat. Rasa pedih mulai terasa ketika penis itu
perlahan mulai melesak masuk padahal vaginaku sudah basah, dan semakin nyeri
tak kala tertanam semua. Aku tak berani menggerakkan kakiku, penis itu terasa
begitu mengganjal gerakanku di selangkangan. Perlahan Reno memulai gerakan
memompa namun kuberi isyarat untuk menghentikan dulu.
“Sebentar,
penuh nih” bisikku bercampur desah.
Namun
dia hanya menurut beberapa detik, selanjutnya dia mulai gerakannya tanpa
memperhatikan isyaratku. Gerakan memompa yang perlahan semakin lama semakin
terasa nikmat, rasa nyeri berangsur menjadi nikmat dan semakin nikmat ketika
dia mulai mempercepat gerakannya, aku sangat berharap dia bisa seperkasa
kakaknya.
Begitu
rasa nyeri hilang, jeritan kesakitankupun berubah menjadi jeritan kenikmatan,
tubuh atletis Reno menempel erat di dadaku, ada rasa geli saat dada yang
berbulu itu menyentuh putingku, tapi justru semakin menambah rangsangan,
apalagi perutnya yang rata tak terasa mengganjal di perut. Kamipun semakin erat
berpelukan saling mentransfer kenikmatan.
Sebenarnya
aku agak keberatan ketika dia minta posisi dogie, aku masih ingin merasakan
lebih lama dekapan tubuh atletisnya, jarang sekali mendapatkan cumbuan dan
belaian laki laki seperti dia, apalagi dengan penis yang gede meskipun relatif
pendek.
Begitu
tubuhku nungging, segera Reno melesakkan kembali penisnya, kali ini tanpa rasa
nyeri saat mulai menerobos menguak liang sempit vagina. Gerakan memompa Reno
terasa begitu penuh perasaan meskipun terkadang diiringi sodokan sodokan keras,
aku merasa dia begitu romantis saat menyetubuhiku. Rabaan dan ciuman di tengkuk
mengiringi gerakan kami, akupun semakin menggeliat tak karuan.
“Sshh..
Aduuh.. Ennaak.. Truss.. Truss.. Yang keraass” tanpa malu aku mendesah
memintanya lebih keras menyodokku, rasanya penis besar itu masih kurang masuk
ke vaginaku, ada bagian lain di dalam yang belum tersentuh.
“Enak
mana sama Dibyo” katanya tanpa memperlambat kocokannya.
“Enak.. Inii, lebih keraass” jawabku sejujurnya dan mulai meracu.
“Enak.. Inii, lebih keraass” jawabku sejujurnya dan mulai meracu.
Tak
lama kemudian aku sudah berada di atasnya, kutekankan pinggulku lebih dalam
sekan hendak melesakkan penis yang tidak panjang itu lebih dalam lagi, alangkah
enaknya kalau penis yang gede itu lebih panjang lagi, paling tidak sama dengan
punya kakaknya, tapi itulah kenyataannya, gede tapi pendek tapi tetap saja
enak.
Kugerakkan
tubuhku di atasnya dengan liar, antara turun naik dan berputar seperti hula
hop, Reno merem melek sambil meremas remas buah dadaku. Kutatap wajahnya yang
sedang mengerang kenikmatan, rasanya tak bosan menatap wajah imut dan dadanya
yang bidang. Dan ternyata itu membawaku lebih cepat menuju puncak kenikmatan,
tanpa bisa menahan lebih lama lagi, akupun menjerit dalam nikmatnya orgasme.
Sebenarnya
aku nggak mau orgasme duluan, perjalanan masih panjang, masih ada Dibyo yang
sebentar lagi datang, kalau sampai orgasme tentu energiku akan banyak terkuras
dan akan kelelahan sebelum perjalanan berakhir. Tapi itu hanyalah keinginan,
kenikmatan yang kudapat dari Reno terlalu sayang untuk ditahan tahan, dan
terpaksa aku menyerah dalam pelukan dan kegagahan Reno.
Aku
terkulai lemas dalam pelukan Reno, terbalaskan sudah kekecewaan pada tamuku
sebelumnya, bahkan melebihi apa yang aku harapkan, begitu puas rasanya. Tapi
ternyata Reno tak berhenti sampai disini, tanpa mempedulikan aku yang sedang
lemas dalam dekapannya, dia membalik tubuhku dan langsung menindihnya.
Kembali
tubuh kekar itu menghimpit nikmat tubuhku, kocokan Reno mulai cepat dan liar
namun masih saja kurasakan penuh perasaan. Hanya beberapa kocokan kemudian,
gairahku kembali naik dengan cepatnya, apalagi bibir Reno tak pernah lepas dari
leher, dada dan bibirku.
Kedua
kakiku naik di pundaknya, terasa kejantanannya semakin dalam melesak di vagina,
lebih nikmat rasanya. Kuimbangi gerakannya dengan sebisa mungkin menggoyang
pinggulku, tentu lebih susah dengan kaki di atas pundaknya. Kami berdua benar
benar terhanyut dalam buaian birahi, terlupakan sudah Dibyo yang belum juga
datang.
Akhirnya
akupun untuk kedua kalinya tak bisa bertahan, kuraih orgasme kedua darinya,
namun kali ini diapun menyusulku ke puncak birahi, hampir bersamaan kami saling
memberikan denyutan. Sperma Reno terasa begitu banyak membanjiri liang
vaginaku, kudekap erat tubuh Reno hingga kurasakan hembusan napasnya menerpa
telingaku.
Ketika
Reno turun dari tubuhku, penisnya tercabut keluar, vaginaku serasa kosong dan
tetesan sperma sepertinya meleleh keluar membasahi sprei. Kamipun telentang
berdampingan dengan napas yang masih senin kamis.
“Kamu
hebat, 2 kali aku dibikin orgasme” kataku setelah beberapa saat terdiam sambil
menumpangkan kepalaku di dadanya yang bidang.
“Kamu juga hebat, kalau cewek lain sudah terkapar minta berhenti” jawabnya ringan sambil membelai rambutku.
“Kamu juga hebat, kalau cewek lain sudah terkapar minta berhenti” jawabnya ringan sambil membelai rambutku.
“Andai
saja aku tahu kamu seperti ini, sudah sejak dulu aku melakukannya” lanjutnya.
“Tapi belum terlambat kan”
“Tapi belum terlambat kan”
“Iya
sih, tapi terlalu lama penantiannya”
“Penantian?”
“Iya, laki laki normal mana sih bisa tahan melihat penampilanmu yang selalu sexy dan ceria, pasti mereka punya fantasi terhadapmu kalau di ranjang, bahkan aku pernah berfantasi bercinta denganmu sambil main sama cewek lain”
“Ah yang benar!!” tanyaku terkejut.
“Iya, laki laki normal mana sih bisa tahan melihat penampilanmu yang selalu sexy dan ceria, pasti mereka punya fantasi terhadapmu kalau di ranjang, bahkan aku pernah berfantasi bercinta denganmu sambil main sama cewek lain”
“Ah yang benar!!” tanyaku terkejut.
“Sungguh
dan aku yakin Dibyo juga sudah lama memendam keinginan mengajakmu ke ranjang
tapi nggak ada keberanian saja”
“Dan
sekarang?” tanyaku penasaran.
“Ternyata
apa yang menjadi fantasiku, tidak ada apa apanya dibandingkan kenyataan
barusan, jauh melebihi angan dan harapanku”
Sambil
berbincang, kurasakan sperma Reno deras mengalir keluar tapi aku biarkan saja.
“Sekarang
aku tak perlu lagi memimpikan kehangatan kamu, kalau aku pingin bisa booking
kapan saja, dan kita masih tetap berteman, itulah enaknya setelah ini”
lanjutnya.
Dibyo
datang tak lama kemudian, setelah aku membersihkan tubuhku, Reno membuka pintu
menyambut kakaknya, aku cuek saja telanjang di atas ranjang.
“Sorry
aku telat” sapanya sambil mencium pipiku.
“Ah
nggak apa kok” jawabku, malah kebetulan aku ada kesempatan bersama Reno lebih
lama, lanjutku dalam hati.
Tanpa
diminta lagi, Dibyo segera melepas pakaiannya hingga telanjang, terlihat
kejantanannya yang setengah menegang, tampak kecil dan memanjang sungguh
berbeda dengan adiknya.
“Belum
terlalu terlambat kan” tanyanya sembari menghampiri dan mencium bibirku dan
kubalas dengan lumatan pula, kali ini aku biasa saja melayani ciuman Dibyo, tak
ada kecanggungan seperti saat pertama kali dulu.
Tubuhnya
langsung menindihku, kamipun berpelukan sambil berciuman bertautan lidah,
seolah saling menumpahkan rasa rindu yang hebat. Bibir Dibyo dengan cepatnya
menyusuri tubuhku, turun terus, tak dihiraukan puting buah dadaku, hanya
sedikit jilatan lalu terus turun ke perut namun kembali lagi ke atas.
Ketika
bibirnya mencapai kedua putingku, kudorong kepalanya ke bawah, ke arah
selangkangan. Aku mau merasakan jilatan Dibyo di vagina, dia belum
melakukannya, ingin kubandingkan kemahirannya dengan si adik.
Ternyata
permainan lidahnya tidak kalah hebat, bahkan lebih mahir dibandingkan adiknya,
aku menggeliat kelojotan merasakan lidahnya menari nari dengan lincahnya
diantara klitoris dan bibir vaginaku. Cukup lama kepalanya terjepit di antara
kakiku, dan kalau tak segera kuhentikan bisa bisa aku mengalami orgasme hanya
dengan permainan lidahnya, ini sungguh memalukan.
Dibyo
tersenyum penuh kemanangan ketika aku minta dia segera memasukkan penisnya,
namun bukannya segera memenuhi kemauanku, tapi malah telentang disampingku dan
memintaku gantian mengulum kejantanannya.
Aku
yang sudah terbakar birahi terpaksa memenuhi keinginannya, ketika aku tengah
jongkok diantar kakinya, Reno yang sedari tadi duduk di sofa mengamati kami,
sudah berada di sampingku, dia ikutan telentang di samping kakaknya dengan
kejantanan yang sudah tegak menantang.
Sembari
mengulum penis Dibyo, kuremas dan kukocok kejantanan adiknya, dua penis yang
berbeda bentuk dan ukuran berada dalam genggaman kekuasaanku. Meskipun menyolok
perbedaannya, tapi keduanya seakan saling melengkapi, yang satu besar dan
pendek sedangkan lainnya kecil tapi panjang, kalau digabungkan tentu akan
menimbulkan kenikmatan tersendiri.
Bergantian
penis kakak beradik itu mengisi dan mengocok mulutku, mereka mendesis nikmat
bergairah, akupun melayani dengan tak kalah gairahnya, perbedaan yang menyolok
itu semakin menambah sensasi dan erotika pada diriku, bisa dibayangkan betapa
nikmatnya kalau penis itu bergantian mengocok vaginaku, membayangkan saja aku
sudah semakin terbakar nafsu.
“Siapa
duluan” tantangku setelah aku telentang diantara kedua bersaudara itu, sengaja
kubuat suasana lebih liar meskipun aku tahu pasti bahwa sekarang giliran Dibyo.
Kalau disuruh pilih, aku lebih suka Dibyo duluan supaya masih bisa merasakan
“kebesaran” kejantanan adiknya setelahnya. Harapanku terkabul ketika Dibyo
sudah berada di antara kakiku.
“Jangan
posisi gini dong, aku susah nih” kata Reno lalu dia minta kami untuk ber-dogie.
Reno
duduk di atasku saat kakaknya berada di belakang, penisnya tepat berada di
wajahku. Ketika kakaknya mulai mendorong masuk kejantanannya, masuk pula penis
adiknya di mulutku, dua penis bersaudara yang berbeda itu mengisi kedua lubang
kenikmatan tubuhku bersamaan dari arah yang berbeda. Dengan posisi seperti ini,
aku lebih suka penis Dibyo yang dimulut dan adiknya di vagina, tapi itu tinggal
tunggu waktu saja.
Sodokan
Dibyo dari belakang semakin lama semakin cepat dan keras, berkali kali penis
Reno terpental dari mulutku saat kakaknya menghentak tubuhku. Cukup kewalahan
aku menghadapi sodokan liar dari belakang sambil mengulum penis gede yang ada
digenggamanku, justru aku lebih banyak memainkan lidahku menyusuri sekujur
daerah kejantanannya.
“Bang
gantian dong” pinta adiknya, meskipun mereka chinese, tapi Reno lebih sering
memanggil kakaknya hanya nama atau Abang, mungkin karena mereka Chinese Medan.
“Sebentar
lagi” balas kakaknya.
Beberapa
saat berlalu, Dibyo masih belum ada tanda memberi giliran pada adiknya, tak mau
menunggu lebih lama lagi, Reno bergeser ke bawah dan berlutut disamping
kakaknya, menunggu giliran dan ternyata si kakak mengalah, dicabutnya penisnya
dan dia bergeser sedikit memberi ruang adiknya untuk menyetubuhiku dari
belakang. Dibyo tetap berada disamping adiknya yang tengah mengocokku sambil
mengelu elus punggungku.
Beberapa
menit berlalu, apa yang tidak kubayangkan sebelumnya terjadi, ternyata mereka
bergantian mengocokku dari belakang. Beberapa menit Reno mengocokku lalu
diberikannya kesempatan berikutnya pada kakaknya, begitu sebaliknya.
Aku
yang mendapat kocokan berurutan dari dua penis yang berbeda dan saling
melengkapi, tak ayal lagi menggeliat dan menjerit histeris dalam nikmat yang
tak terhingga, apa lagi saat pergantian yang begitu cepat, hanya dalam hitungan
detik penis yang mengisi dan mengocok vaginaku berganti, tentu saja otot
vaginaku tak sempat berkontraksi menyesuaikan diri, tapi kedua penis itu saling
melengkapi, menggesek daerah yang tidak tersentuh lainnya, sungguh pengalaman
baru bagiku.
Desahan
dan jeritan tak henti hentinya keluar dari mulutku, aku meracu dalam kenikmatan
yang teramat sangat hingga tak dapat kubendung lagi ketika dorongan kuat dari
dalam tubuhku menimbulkan denyutan denyutan hebat pada vagina, akupun orgasme
tak lama kemudian, tak lebih dari 15 menit setelah mereka mengocok bergantian.
Jeritan histeris orgasmeku hanya ditanggapi dengan senyum kemenangan, mereka
meneruskan kocokannya tanpa menurunkan tempo permainan, entah sudah berapa kali
bergantian.
“Kalau
capek bilang aja, kita istirahat dulu” kata Reno sambil mengocokku, tentu saja
aku tak mau, disamping tak ingin kehilangan kenikmatan yang sangat hebat ini,
akupun gengsi untuk mengakuinya.
“Kalian
memang kakak beradik gila”
teriakku disela sela desahan.
Setelah
berlangsung beberapa lama, kami berganti posisi. Kali ini aku diatas memegang
peranan, kuminta mereka berjejer telentang, segera kunaiki tubuh Dibyo. Sedetik
setelah penisnya melesak dalam vagina, aku langsung bergoyang pinggul dengan
cepatnya, kami sama sama mendesis, tangan Dibyo meremas remas buah dadaku
dengan kerasnya.
Tak
lebih 3 menit saat Dibyo mulai mendaki menuju puncak kenikmatan, dengan gerakan
spontan kucabut penisnya dan langsung duduk di atas adiknya, tak kuhiraukan
teriakan protes darinya.
“Emang
enaak” godaku sembari melakukan goyangan yang sama pada Reno, dan hal yang sama
pula kulakukan padanya untuk berpindah lagi ke kakaknya. Memang nikmat tapi
bagiku lebih capek karena harus berpindah dari satu ke lainnya, tapi sensasinya
mengalahkan segalanya.
Setelah
beberapa kali berpindah, Dibyo bangkit, berdiri dan menyodorkan penisnya di
mulutku disaat aku tengah mendaki puncak kenikmatan bersama adiknya.
Inilah
yang kutunggu sedari tadi, penis gede di vagina dan penis panjang di mulut,
keduanya mengocokku bersamaan. Penis gede yang tertanam di vagina terasa agak
menghalangi gerakanku tapi tak kuhiraukan, justru semakin nikmat rasanya,
apalagi kocokan di mulut tak pernah berhenti sambil sesekali disapukan ke
wajahku.
Dengan
posisi ini ternyata aku juga tak bisa bertahan lebih lama, kenikmatannya
terlalu sayang untuk ditahan tahan, dan jebollah pertahananku untuk kedua
kalinya. Kulepas penis Dibyo dari genggamanku dan kutelungkupkan tubuhku di
atas dada bidang Reno, ingin kunikmati denyutan orgasmeku dalam dekapannya.
Seiring dengan habisnya denyutan di vaginaku, habis pula tenagaku, akupun
terkulai lemas telentang disamping Reno.
Tanpa
memberiku istirahat, Dibyo sudah ambil posisi bersiap melanjutkan gilirannya,
tak dipedulikan isyarat kelelahanku, penisnya dengan mudah kembali mengisi
relung relung vagina yang habis berdenyut hebat, dengan sisa sisa tenaga yang
ada, kucoba mengimbangi kocokannya yang langsung keras dan tak beraturan.
Episode
babak awal terulang lagi, bergantian kedua bersaudara itu mengocokku, akupun
dengan cepatnya melambung setinggi awan kenikmatan, terlupakan sudah rasa capek
yang menyelimutiku, rasanya ada tambahan energi yang timbul dari dalam didorong
sensasi yang teramat hebat.
Jerit
dan desahku kembali terdengar dengan keras lepas, antara besar pendek dan kecil
panjang berurutan mengisi dan keluar masuk vaginaku, tak ayal lagi orgasmeku
pun datang dengan cepatnya, entah untuk keberapa kali aku tak bisa
menghitungnya lagi, apalagi mereka tak mempedulikan teriakan teriakan
kenikmatan orgasmeku.
“Udah
udah.. Istirahat dulu.. Ampun deh” desahku akhirnya harus mengakui kehebatan
kedua bersaudara itu.
Dibyo
yang sedang mengocokku menghentikan kocokannya dan mencabut keluar, tapi
adiknya tak mau melihat liang vagina yang kosong, segera digantikannya posisi
kakakknya. Dibyo bergeser ke atas, menyapukan penisnya yang penuh lendir vagina
ke wajah sembari mengocok dengan tangannya. Tak lama kemudian, menyemburlah
sperma mengenai wajah dan rambutku, dipaksakannya penis yang sedang berdenyut
itu masuk ke mulutku, rasanya tak ada dayaku untuk menolaknya setelah apa yang
telah kudapatkan darinya, dan masuklah penis dengan spermanya kedalam mulutku,
sisa sisa sperma masih mengalir deras membasahi tenggorokanku, tertelan masuk.
Reno
menghentikan gerakannya saat melihat bagaimana kakaknya mengeluarkan spermanya
di wajah dan mulutku, namun dilanjutkan dengan sodokan yang semakin cepat. Tiba
tiba dia menarik penisnya dan segera mengangkangkan kakinya di atas mukaku,
meniru kakaknya, disapukan penis yang basah ke mukaku yang masih belepotan
sperma Dibyo.
Ketika
kumasukkan penis itu ke mulutku, langsung menyemprotkan sperma, tak ayal lagi
hampir semua sperma yang disemprotkan tertelan ke masuk. Dibyo dan adiknya
bersama sama menyapukan penis mereka yang mulai melemas ke wajahku dengan
senyum kemenangan.
“Tak
kusangka ternyata Lily yang kukenal selama ini begitu hebat di ranjang” komentar
Reno sambil menyapukan penisnya.
Aku
diam saja sambil menjilati sisa sisa sperma yang masih ada di batang penis
mereka. Akhirnya kami bertiga terkulai lemas telentang berjejer di atas
ranjang.
Berkali
kali Reno memuji kehebatan permainan ranjangku dan berkali kali pula dia
menyatakan ketakjuban dan kekagetannya melihat permainan yang aku suguhkan,
hampir tak percaya dia melakukannya denganku, yang selama ini dianggap seorang
yang cukup dewasa dan terkesan seperti orang rumahan, seperti dalam mimpi.
Tak mungkin
percaya kalau tak mengalaminya sendiri, Dibyo hanya mengiyakan celotehan
adiknya yang Play Boy itu, seperti anak mendapat mainan baru yang hebat.
Setelah
beristirahat cukup lama, kami melakukannya lagi di sofa, hampir dengan pola
permainan yang sama, bergantian berurutan, meski dengan posisi yang berbeda
beda.
Kami
melakukan 2 babak lagi sebelum Dibyo pulang meninggalkan aku dan adiknya
bermalam di hotel, aku sangat tak keberatan menemani Reno hingga pagi dan kami
memang menghabiskan sisa malam dengan segala nafsu birahi penuh gairah, seperti
tidak bercinta dengan tamu melainkan dengan seorang pacar, apalagi postur tubuh
Reno yang memang menggugah naluri birahi wanita normal.
Tak
terhitung lagi babak demi babak yang kami lewati hingga kelelahan menjelang
pagi bersamanya. Nafsu Reno sangatlah besar, sepertinya tak mau membuang
kesempatan yang datang sekali seumur hidup, tak pernah dibiarkan aku sedetik
menganggur, selalu saja dia minta lagi dan lagi, kalau aku menolak dia yang
melakukan oral pada vagina, tentu saja gairahku segera timbul lagi untuk
melayaninya.
Keesokan
harinya setelah menjalani 1 babak saat bangun tidur, kami check out, dia
mengajakku mampir ke rumahnya di kawasan Darmo Satelit yang juga rumah Dibyo
karena dia memang masih tinggal bersama kakaknya itu, sebenarnya aku agak segan
ke rumahnya, rasanya nggak ada muka untuk ketemu Wenny tapi Reno memaksaku dan
berhasil meyakinkan kalau jam segini Wenny tidak ada dirumah.
Ternyata
Wenny menyambut kedatanganku, rupanya dia sedang di rumah sehabis dari salon,
dengan sumringah wajah cantik nan ceria itu mempersilahkan aku masuk setelah
kami berciuman pipi, padahal semalam pipi itu berlumur sperma suaminya dan juga
adik iparnya.
“Kudengar
kalian bertiga semalam ada pesta di Sheraton, pestanya siapa sih?” tanyanya
sambil lalu seraya membikinkan aku makan siang, dia tahu pasti aku menyukai Kwe
Tiaw bikinannya.
Dibyo
datang tak lama kemudian ketika kami tengah makan bersama, diapun ikutan makan
siang, berempat kami mengelilingi meja yang penuh masakan bikinan Wenny, pasti
dia tak pernah menyangka bahwa dua laki laki dirumahnya yang kini duduk
dihadapannya telah meniduriku semalam, bersamaan malah.
Sehabis
makan, Dibyo dan Wenny kembali pergi lagi meninggalkan aku dan Reno, sekali
lagi kami melakukannya 1 babak di kamar Reno sebelum dia mengantarku pulang.
“Nanti
aku transfer saja, bisnis is bisnis” kata Reno sebelum meninggalkanku.
Di
kamar kos, aku ingin merenung tentang apa yang telah kuperbuat dengan kedua
sobatku, tapi tak pernah terjadi renungan itu karena bookingan lain telah
menunggu.
Itulah
kedekatanku dengan keluarga Dibyo, suatu persahabatan yang diawali ketulusan
tapi kini telah ternoda oleh bisnisku, aku merasa bersalah setiap kali melihat
wajah innocent Wenny yang cantik. Tapi itu bukan salahku, tapi salah suami dan
adik iparnya, aku toh hanya seorang call girl yang bersedia diajak ke ranjang
oleh siapa saja yang bisa membayarku, hibur hatiku setiap kali perasaan
bersalah menggelayut dihatiku. Dan prinsip itu semakin menyeretku semakin dalam
ke pusaran persahabatan yang ternoda.
Tak
terhitung lagi aku “berbisnis” dengan Dibyo maupun Reno ataupun keduanya,
bahkan Reno dengan bangganya memperkenalkanku pada teman temannya, tentu saja
menambah jaringan tamu langgananku.
Tak
dapat kuhindari kalau kemudian Reno seperti ketagihan akan pelayananku,
terutama dia sangat menyukai saat mengeluarkan spermanya di mulut dan wajahku,
paling tidak seminggu sekali dia mem-booking-ku.
Hingga
saat aku tinggal di Jakarta kini, kami sering berhubungan lewat telepon,
terutama dengan Wenny, seakan dia tidak pernah tahu apa yang telah kuperbuat
dengan kedua laki lakinya. Entahlah.
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar