Tokoh Utama :
- Aku (45 tahun)
- Bimo
Tokoh Figuran :
- Anak perempuanku, anak bungsuku
Pulangnya
para TKI dari malaysia mengingatkanku akan pengalaman seksku di kapal laut.
Cerita seks yang tidak bisa kuduga dan hubungan itu terus bersemi sampai saat
ini.
Melihat
berita di TV tentang pulangnya para TKI dari Malaysia dengan kapal-kapal besar,
aku jadi teringat kisahku yang juga terjadi di kapal besar semacam itu. Sekitar
lima tahun lalu aku mendapat telegram dari anak perempuanku yang hendak
melahirkan anak pertamanya sebulan lagi. Sudah hampir setahun ia ikut suaminya
yang kerja di Irian Jaya dan ia sangat berharap aku dapat menungguinya saat dia
melahirkan. Suaminya akan menjemputku dalam waktu 1-2 minggu itu setelah
selesai urusan kantornya. Benar saja, dua minggu kemudian menantuku, Bimo,
datang. Ia sedang mengurus pekerjaan di Jawa Timur sekitar dua minggu. Setelah
selesai, ia menjemputku dan masih sempat menginap selama tiga hari sebelum
kapal berangkat dari pelabuhan Tanjung Perak.
Hari H pun
tiba. Pagi-pagi diantar anak bungsuku kami berangkat ke Tanjung Perak yang
jaraknya sekitar dua jam perjalanan dari kota kami. Sejak suamiku meninggal
memang aku jadi sering pergi berkunjung ke anak-anak yang tersebar di beberapa
kota. Untuk anakku yang di Irian Jaya ini merupakan kunjunganku yang pertama,
maklum jaraknya jauh sekali. Menurut menantuku, lama perjalanan laut sampai 3
hari 2 malam.
Sampai di
pelabuhan Bimo segera mengurus tiket yang sudah dipesannya. Kemudian kami naik
ke kapal besar itu. Penumpang kapal yang ribuan jumlahnya membuat para
pengantar tidak bisa ikut naik, termasuk anak bungsuku. Baru sekali itu aku
naik kapal laut. Sungguh mengejutkan karena penumpangnya ribuan orang dan
sebagian hanya duduk di dek atau lorong-lorong kapal. Sebagian lagi menempati
bangsal seperti kamar asrama dengan tempat tidur raksasa yang muat ratusan
orang. Kuikuti langkah Bimo melewati mereka, bahkan terpaksa melangkahi
beberapa orang, hingga sampai di bagian ujung kapal yang merupakan deretan kamar.
Hanya sekitar 10 kamar, itupun ukurannya Cuma sekitar 3×3 meter. Ini kuketahui
setelah Bimo membuka pintu kamar dan kami memasukinya.
“Ini kamar kita, bu,” kata Bimo sambil masuk lalu menaruh seluruh bawaan kami.
Dengan canggung aku masuk. Yang nampak memenuhi hampir separuh ruangan adalah
ranjang kayu yang muat dua orang serta meja kecil pendek. Perlahan aku duduk di
ranjang dan menyibak gorden di atasnya. Nampak air laut di kaca bulat dan tebal
itu. Iiih ternyata kami berada di bawah permukaan laut.
”Maaf, bu, harga tiket kamar di atas mahal sekali, terpaksa saya pilih
yang di sini, ” ujar Bimo merasakan kegalauanku.
”Ah, tak apa-apa Bim, daripada harus tidur di dek kapal, ”
sahutku.
”Sebaiknya kita sekarang mandi dulu saja, bu. Kalau terlambat nanti antrinya
lama sekali.”
Benar kata
Bimo, sewaktu sampai di deretan kamar mandi (ada 6) sudah ada antrian sekitar
2-3 orang di setiap kamar mandi. Mandi pun harus buru-buru dan biar praktis aku
langsung pakai daster saja.
Sekitar jam
2 siang kapal mulai bergerak. Setelah puas melihat-lihat suasana kapal yang
dijejali ribuan orang, persis seperti pengungsi, akupun kembali ke kamar. Bimo
masuk ke kamar sambil membawa beberapa makanan dan minuman. Sekitar jam 5 sore
terdengar bel dibunyikan oleh awak kapal.
“Itu pertanda kita harus antri makan malam,
bu,” jelas Bimo. Dan sekali lagi kami harus berbaris antri mengambil nasi
dengan lauk sayur dan sedikit ikan laut. Nampan, piring dan sendok aluminium
yang kami pakai mengingatkanku akan para napi di penjara. Ternyata beginilah
pelayanan kapal laut kita. Selewat jam 7 malam makanan tidak disediakan lagi.
Membayangkan bagaimana ribuan nampan, piring dan sendok itu dicuci dengan air
yang sangat terbatas aku jadi sulit menelan makanan yang sudah di mulut.
Bimo
mengembalikan peralatan makan sementara aku ke kamar mandi untuk cuci dan
pipis. Cape sekali hari itu dan aku perlu segera tidur malam itu. Kapal yang
bergoyang-goyang karena ombak besar membuat kepalaku pening.
“Silahkan ibu tidur dulu. Saya masih perlu
menyiapkan laporan untuk kantor,” kata Bimo sambil membuka berkas-berkasnya di
meja kecil sambil duduk di lantai kapal yang berkarpet. Aku pun naik ke ranjang
mengambil posisi mepet ke dinding kapal. Sekilas terlintas di benakku, “Aku,
janda usia 45 tahun, tidur seranjang dengan menantuku?” Tapi segera kutepis
mengingat ini dalam keadaan terpaksa dan sopan santun Bimo selama ini. Untuk
menyuruhnya tidur di lantai kapal aku tak tega.
Entah berapa
lama terlelap, aku terbangun karena merasa ada sesuatu yang memelukku. Saat
kubuka mata, kamar gelap sekali, sementara posisi tubuhku sudah telentang.
Segera aku menduga Bimo mau berbuat yang tidak senonoh padaku dan aku siap
berontak. Tapi beberapa saat kurasakan tidak ada gerakan dari tubuhnya dan
malah terdengar dengkur halusnya. Ternyata Bimo tertidur.
Bagaimana
ini? Apa aku harus menyingkirkan tangannya dari atas perut dan dadaku (yang tak
berbeha seperti kebiasaanku kalau tidur) serta kakinya yang menindih paha
kananku? Aku tak tega membangunkannya dan jadi serba salah dengan posisi yang
demikian itu. Aku tak bisa menyalahkannya karena ia tertidur dan ranjang kami
termasuk berukuran pas-pasan untuk dua orang. Akhirnya aku pilih diam saja dan
bertahan pada posisi itu meski dari gesekan kulit akhirnya kuketahui kalau Bimo
saat itu bertelanjang dada. Dan persentuhan paha kami juga menandakan bahwa
Bimo tidak memakai celana panjang. Mungkin dia hanya memakai celana pendek atau
justru celana dalam saja, pikirku. Aku dag -dig-dug membayangkan dia tidur
telanjang.
Kupejamkan
mata dan berusaha tidur lagi sambil berharap Bimo melepas pelukannya sehingga
aku bisa berguling ke dinding kapal memunggunginya. Namun sampai
terkantuk-kantuk harapanku tak terkabul. Sampai aku terlelap lagi tangan dan
tubuh kekar Bimo masih menelangkupi dadaku dan pahanya menindih pahaku. Mungkin
ia tengah membayangkan tidur dengan istrinya, pikirku. Aku semakin bisa
memaklumi dan tidak begitu peduli lagi dengan posisi tidur kami.
Beberapa
lama kemudian, aku menggeliat dan terbangun lagi. Kini tubuh kekar Bimo ternyata
sudah ada di atasku, menindihku. Bahkan terasa pahaku dikangkangkannya sehingga
celana dalamnya tepat di atas celana dalamku karena dasterku sudah tertarik ke
atas. Tonjolan penisnya yang tegang terasa sekali. Remasan tangannya di
payudaraku, meski masih tertutup daster, membuatku meronta.
“Bimo!
Apa-apaan ini? Aku ibu mertuamu, Bim!” Ucapku setengah berteriak takut
terdengar kamar sebelah sambil tanganku menolakkan dada telanjangnya.
“Ugh, maaf
bu, kukira tadi aku tidur denga istriku? Sudah hampir sebulan aku puasa, bu?”
“Iya, tapi
jangan dilampiaskan ke aku dong,” kataku jengkel sambil menepis tangannya yang
nakal. Sementara selangkanganku tak berkutik terpaksa menerima dan merasakan
tekanan penisnya yang terbalut celana dalam.
“Ak… aku cuma ingin memeluk-meluk saja
kok, bu… Tidak sampai itu…” jawabnya polos.
“Aku kuatir
kamu lupa diri… lalu memperkosaku….” belaku sambil berusaha menyingkirkan pahanya tapi tenagaku
tak cukup kuat.
“Sumpah, bu… Aku cuma ingin memeluk-meluk saja
dan tidak bakalan memperkosa… Kalau aku mau pasti dari tadi celana dalamku dan ibu sudah
kulepas…” balasnya.
Aku berhenti
berontak sambil memikirkan kata-katanya. Benarkah ini terjadi hanya karena dia
sedang bernafsu setelah sebulan tidak ketemu istrinya.
”Egh.. ugh”
kini bukan hanya remasan, tapi malah gigitan kecil yang terasa di putting
kananku yang masih tertutup daster. Puting kiriku terasa dipelintir kecil. “Greeeng” kurasakan nikmat sesaat.
Sudah lama aku tak merasakan kenikmatan ini. Ada keinginan untuk berontak namun
ada juga dorongan untuk menikmati kemesraan ini.
“Benar ya,
Bim. Janji, tidak boleh copot celana dalam?” tantangku.
“Iya, bu,
aku janji tidak akan mencopot celana dalam kita?”
“Hshhh… hsshh” perlahan aku semakin menikmati cumbuannya. Rasanya ingin
mengulang kenikmatan saat suamiku masih ada. Meski agak canggung, pelan-pelan
tanganku malah memeluk punggung Bimo yang menaikkan posisinya hingga kepala
kami sejajar. Ia mulai mengecup-ngecup wajahku. Aku berusaha melengos tapi
tangannya sudah memegang kedua pipiku dan bibirnya mendarat di bibirku. “Ufh” bibirku disedotnya, lidahnya
memasuki mulutku. Mula-mula aku pasif, tapi lama-lama ikut aktif juga bersilat
lidah. Kami saling sedot dan isep lidah dan bibir.
“Bu, dasternya dilepas saja ya,” mendadak Bimo
berkata setelah kami lelah berciuman.
“Ingat janjimu, Bim..” kataku.
“Aku kan janji tidak melepas celana dalam kan,
bu?” jawabnya sambil perlahan tangannya menarik dasterku ke atas. Entah kenapa
aku tak mampu menolak dan hanya pasrah ketika daster itu dilempar entah kemana,
dan kami tinggal berbalut cd. Yang kulakukan kemudian hanya memejamkan mata
ketika tubuh kekar itu memelukiku, menghisapi susuku kiri kanan dan
menekan-nekan selangkanganku, menjilati sekujur tubuh. Aku menggelinjang
kenikmatan sambil mempererat pelukanku di punggungnya. “Oooh” aku malah terlena. Tubuh kami
basah mandi keringat.
Pantatku
mendadak terangkat ketika salah stau jari Bimo mengelus bibir vaginaku yang
masih tertutup cd.
“Bim, jangan?”
“Aku hanya mengelus dari luar kok, bu?”
“Nanti aku jadi terangsang, Bim?”
“Nggak apa-apa kan, bu? Saat ini kita saling
memuaskan saja deh, bu. Aku akan bikin ibu orgasme tanpa membuka cd ibu….”
Benar saja,
sejurus kemudian sensasi hebat kurasakan ketika gesekan dan pijatan jemari Bimo
di bawah perutku semakin liar. Aku segera merasa ada sesuatu yang mengalir
keluar dari vaginaku.
“Ibu sudah basah ya?” Tanya Bimo nakal. Aku
jadi malu dan pilih diam saja sambil terus menikmati rabaan gila itu. Ya, aku
memang sudah hampir orgasme dan Bimo tahu itu. Serta merta ia memutar posisi
tubuhnya hingga mulutnya dapat menjilati cd di bagian selangkanganku. Kakiku
dinaikkannya dan tubuhku agak diseret turun, sementara bagian cd-nya tepat di
depan wajahku.
“Uh… uh” sambil memegang kedua pahaku Bimo memainkan lidahnya sedemikian
hebat. Menjilati paha, perut lalu semakin turun hingga tepat di bibir vaginaku.
Ia tak canggung menggigit-gigit cd ku dan menekannya dengan lidah sehingga
masuk.. Aku semakin basah. Banjir. “Ooh… Bim… Bim….” Aku mulai mengejan berkejat-kejat,
menumpahkan semuanya sampai merembesi cd dan Bimo menghisapinya kuat.
Tangan
kananku dipegang Bimo dan ditaruhnya di gelembung cd-nya yang berisi penis
tegang itu. Tanganku diremas-remaskannya di benda tumpul lunak-keras yang
panjangnya sekitar 20 cm itu. Aku yang semula canggung jadi makin terbiasa,
malah akhirnya terbawa nafsu untuk menciuminya meski dari luar cd. Bimo
mendesis ketika barangnya kujilat dan kukocok-kocok dari luar.
“Ak… aku mau keluar juga, bu?” erangnya ketika
tanganku bergerak lebih kuat dan sekejap kemudian kurasakan penisnya menekan
kuat bergetar-getar memuncratkan isinya di dalam cd. Barang itu terus kuperas
habis sampai akhirnya melemas dan tubuh Bimo menggelosoh kecapaian dan dagunya
diletakkan di vaginaku. Satu sama! Dia ejakulasi sekali, aku juga orgasme
sekali.
“Cape ya,
bu?” tanyanya sambil memelukku. Dengan manja aku menyorongkan kepala ke dadanya
yang berbulu. Tangannya segera meremas susuku lagi.
“Sudah dulu,
Bim…” bisikku sambil
menghentikan remasannya.
“Berarti
nanti lagi ya, bu?” Aku tak menjawab dan cuma memberinya remasan kecil
dipenisnya yang telah mengecil. Oh, nikmatnya seks….
“Ini jam
berapa, Bim?”
“Paling
masih sekitar jam 12 malam, bu? Masih dua hari lagi kita sampai… Aku akan puasi ibu selama dua hari
ini… Kita tidak
perlu keluar kamar….”
Gila,
pikirku! Selama 2 hari 2 malam main seks dengan Bimo? Apa aku bisa tahan untuk
tidak melepas celana dalam? Mungkin aku masih tahan, tapi Bimo? Namanya juga
laki-laki, kalau nafsunya naik pasti main paksa. Bagaimana kalau aku jadi
hamil? Sudah lama aku tak minum pil KB lagi. Aku merinding manakala
membayangkan dihamili Bimo. Tapi aku tak mau lepas juga dari pelukannya. Tak
peduli tubuh kami bersimbah keringat dan seprei ranjang acak-acakan.
Malam
pertama itu kami ulangi tiga kali lagi pergumulan nikmat itu. Beruntung malam
itu kami masih kuat bertahan tak lepas cd, meski cd yang kami pakai sudah kuyup
terkena air mani berkali-kali. Kami tak dengar lagi bel makan pagi karena saat
itu masih terlelap. Bangun sekitar jam 10 siang kudapati tubuh kami masih
berpelukan. Susuku yang berbeha nomor 36 menempel lekat di dadanya. Cahaya
remang-remang dari jendela kaca membuat wajahku memanas, malu. Kalau semalam
kami tak saling melihat wajah karena gelap aku masih bisa menahan malu, maka
siang ini kami harus bertatap muka. Kuperhatikan Bimo yang terpejam. Gila!
Tubuhnya benar-benar seperti Bima dalam pewayangan. Besar, kekar agak hitam
dengan rambut di dadanya. Dadaku berdesir setiap kali rambut itu menerpa
putingku. Perlahan kulepaskan diriku dari pelukannya dan dia kudorong sampai
telentang. Tonjolan di balik cd-nya dan helai-helai rambut yang mencuat dari cd
itu menjanjikan suatu kenikmatan yang... ah, mestinya tak boleh kubayangkan.
Dan beruntung memang semalam aku belum merasakannya kecuali dari luar cd. Aku
tak bisa membayangkan barang itu menusukku. Perlahan aku menuruni ranjang.
“Mau kemana,
bu?” Mendadak Bimo terbangun dan menarik tubuhku kembali dalam pelukannya.
“Mau mandi,
Bim,” jawabku.
“Nanti
sajalah, bu, agak sore saja. Hari ini aku mau kita di ranjang ini saja. Kalau
ibu lapar bisa makan roti yang sudah kubeli.” Aku tak berdaya ketika Bimo
menggulingkan tubuhku kembali ke ranjang. Menelentangkanku lalu memanjat dan
menunggangiku lagi. “Ufhh” lagi-lagi tetek montokku jadi bulan-bulanan mulutnya, demikian pula
tekanan-tekanan pada vaginaku membuat pahaku semakin terkangkang lebar. Sedikit
demi sedikit gairahku meletup lagi, terlebih setelah merasakan tonjolan zakar Bimo
menggesek-gesekku dengan ketat.
“Bim,
lama-lama aku nggak kuat kalau dirangsang begini terus?” bisikku.
“Kalau nggak
kuat ya tinggal dikeluarin saja to, bu,” jawabnya sambil mencucup putingku dan
menyedotnya.
“Maksudku,
aku takut nanti jadi kepingin buka cd… egghh… jangan keras-keras, Bim…” desahku. Bimo mengurangi tekanan di
vaginaku.
“Aku kan
sudah janji tak akan buka cd ibu. Tapi kalau ibu dengan sukarela buka sendiri
ya bukan salahku lho… hehehe….” guraunya sambi mencium bibirku.
“Untuk
variasi, coba deh ibu di atas… tolong diisepin tetekku dong, bu?” pintanya manja. Aku
mandah saja ketika ia memelukku lalu menggulingkan tubuhnya hingga telentang
dan aku menindihnya. Dibimbingnya kepalaku ke putingnya. Pelan kujilat-jilat
lalu kuisap.
“Yang kuat,
bu…”erangnya
sementara tangannya bergerak turun ke arah pantatku. Meremas dan
menekan-nekannya sambil mengayun zakarnya ke atas sehingga bertemu dengan
vaginaku meski masih terbungkus cd. Sejenak kemudian pahaku dibukanya dengan
dua tangan lalu tangan itu mulai mengobok-obok daerah sensitifku itu. Sebentar
saja aku kembali basah.
“Bim, oh
Bim.. aku mau keluar,” desisku tak tahan. Namun Bimo mendadak menghentikan
gerakan tangannya sehingga aku blingsatan.
“Teruskan,
Bim,” pintaku sambil meletakkan tangannya di memekku lagi, tapi ia tetap diam.
“Jangan
buru-buru, bu. Makin lama makin nikmat kan?” godanya membuatku tak sabar.
Nafsuku yang sudah di ubun-ubun minta penuntasan segera tapi Bimo sengaja
menggodaku. Entah dapat kekuatan dari mana tiba-tiba aku jadi beringas.
Kududuki perut Bimo lalu kuambil tangan kanannya, kupilih telunjuknya lalu
kubawa ke arah vaginaku. Kusisipkan jari itu di sela-sela cd ku dan segera
kumasuk kan ke liang vagina.
“Bim, tolong
kau puasi aku dengan jarimu… Aku nggak tahan lagi….” Kutusuk-tusukkan jari Bimo
dalam-dalam. Dan setelah kurasakan ia mulai menggerakkan jarinya keluar masuk,
aku lalu meneletangkan tubuh ke belakang, sampai kepalaku bertumpu pada
pahanya.
“Ugh…. egh” kunikmati kocokan jari Bimo di vulvaku. Kurasakan cairanku menderas.
Mataku membeliak menikmati surga dunia itu. Gilanya, kemudian aku merasa pahaku
ditarik ke atas dan? sekarang bukan lagi jari Bimo, melainkan lidahnya yang
yang menusuk-nusuk memasuki vaginaku. Ia memang tidak membuka cd-ku, hanya
menyibakkan bagian bawahnya lebar-lebar.
“Seeer… cret… suuur…” aku sampai ke klimaks. Pantatku
berkejat-kejat mengejang gemetaran dan Bimo menelan semua maniku sampai aku lemas. Ia
terus menyedot dan menjilat-jilat. Sungguh edan! Tubuhku terjelepak di pahanya
dengan nafas ngos-ngosan. Namun kurasakan jemari Bimo menggantikan lidahnya
menusuki lubang memekku. Tidak hanya satu jari, tapi 2 kadang 3 jari masuk
bareng!
“Cukup, Bim..” pintaku.
“Belum, bu,…”
jawabnya sambil terus
merangsang klitorisku, “wanita biasanya bisa mencapai orgasme berkali-kali. Aku mau
buktikan itu,” katanya.
Tak menunggu
lama, ucapan Bimo terbukti. Syahwatku memuncak lagi dan cairanku mengucur lagi.
Bimo mengerjaiku dengan cara itu sampai aku empat kali orgasme. Apa ia juga
melakukan hal ini pada istrinya, anakku?
“Nah,
sekarang terbukti aku lebih kuat kan, bu? Aku belum sekalipun buka cd tapi ibu
malah memaksaku mengocok vagina ibu?”
“Aku benar-benar tak kuat, Bim… Sudah bertahun-tahun aku tak pernah
merasakan kenikmatan dan sekarang kamu merangsangnya terus sejak semalaman.
Siapa bisa tahan?”
“Apa itu berarti ibu tidak mau pakai cd lagi?”
“Aku tetap pakai
dan kamu juga. Aku takut hamil?”
Setelah
empat kali orgasme berturut-turut, tulang-tulangku seperti dilolosi. Pelan
kugeser tubuhku turun dari ranjang mengambil cd baru dari tas lalu tanpa
sungkan kupakai di depan Bimo.
“Kamu juga
harus ganti cd baru, Bim, kan sudah bau bekas sperma kemarin kan..”
`”Iya, iya,
bu… sekalian aja
nanti waktu mandi. Sekarang aku ingin ibu ganti memuaskanku?”
Tangan Bimo
menggapaiku dan mendudukkan pantatku tepat di atas zakarnya. Kugoyang-goyang
pantatku sampai Bimo mendesis-desis sambil meremasi tetekku. Kupercepat
rangsanganku pakai tangan. Kugenggam zakar di balik cd itu dan kukocok-kocok
sampai 15 menit barulah kemudian Bimo memelukku erat-erat sambil menyemburkan
sperma di dalam cd nya. Setelah habis kuperas, ia memelukku dan menggulirkan
tubuh kami ke ranjang. Kami terdiam. Kudengar nafasnya agak memburu. Kami
benar-benar capai berpacu dalam birahi.
Bel makan
siang berbunyi tapi kami tetap tak beranjak keluar kamar. Kami hanya makan roti
dan minum minuman kaleng yang dibeli Bimo, entah apa tapi rasanya agak hangat
di badan. Selama ini kami masih bertahan pakai cd.
“Aku akan
berusaha sampai ibu buka cd sendiri,” tekadnya sambil mengecup dan
menggigit-gigit telingaku, mengecupi wajahku, menciumi bibirku, menjilati dagu,
leher, dada, menyedoti tetekku kiri-kanan, turun terus sampai aku menggelinjang
ketika lidahnya sampai di perutku, pusar dan terus turun. Menyelip-nyelip di cd
di daerah selangkanganku. Menyentuh-nyentuh lubang vagina, menerobos sampai
klitorisku dapat diemut dan dimainkan dengan lidahnya.
“Uuffgghh” kurasakan nikmat mengalir dari selangkangan sampai ke kepalaku.
Kutekan kepala Bimo keras-keras. “Aa… aku nggak kuat, Bim…. Hsshh… hsshhh.. enaaak banget” nikmaaat…” tanpa sadar tanganku beralih ke
cdku dan cepat melepasnya. Bimo membantuku melepas cd itu setelah melewati
paha. Kini aku bugil gil dengan paha ngangkang dijilati menantuku! Suur… cret..cret… aku orgasme lagi dengan paha
ngangkang berkejat-kejat. Mungkin ini yang ke-10 kali sejak kemarin. Dan
lagi-lagi Bimo melahapnya dengan ganas, menyedot, mengisapku sampai kering.
“Terbukti,
kan, ibu sudah buka cd sendiri,” bisiknya sambil menaikiku lagi hingga bibirnya mencapai
bibirku dan selangkangannya menekan vaginaku.
“Sekarang
ibu akan kupaksa membuka cdku juga?” desisnya samibl menekan-nekan dan
memutar-mutar tonjolan cdnya ke vaginaku. Batang besar yang tercetak di cd itu
sekarang masuk memanjang di bibir vaginaku. Digesekkannya naik turun
membangkitkan birahiku lagi. Remasan di tetekku dan mungkin pengaruh minuman
kaleng tadi mempercepat syahwatku naik lagi.
“Ja-jangan, Bim… Jangan perkosa aku… nanti hamil….” erangku sambil memelukkan pahaku ke
pahanya dan tanganku ke punggungnya, tak kuat merasakan rangsangan yang
melanda.
“Tidak, bu… tapi ibu sendiri yang bakal minta
kuperkosa… Ibu ingin zakarku masuk ke memek ibu, kan?”
“Jang… jangan, Bim… eegghhh?” aku harus mengejang lagi hendak mengeluarkan mani. Namun
mendadak Bimo berbalik dan membuat posisi 69. Lidahnya kini bebas memasuki
vaginaku tanpa halangan cd, sedangkan tonjolan besar zakarnya tepat di depan
wajahku yang mau tak mau terpaksa kupegang supaya tidak menekan wajahku terlalu
kuat. Berdenyut-denyut benda tumpul kenyal itu di genggamanku. Kukocok-kocok
dan, karena ukuran cdnya yang kecil, membuat kepala zakar itu sekarang muncul
di perutnya.
“Jilat, bu… isep?” pintanya sambil mengarahkan tonjolan itu ke mulutku. Aku yang
sudah tak mampu berpikir jernih perlahan tapi pasti menuruti permintaan gilanya
yang belum pernah kulakukan pada suamiku sekalipun. Ufh.. kukulum-kulum kecil
ujung penisnya dan membuat benda panjang itu semakin keluar dari cd, seperti
ular. Kupegang batang ular itu sementara kepalanya masuk ke mulutku semakin
dalam. Semakin dalam dan semakin bergelenyar, berkejut-kejut di mulutku. Agar
lebih leluasa, cdnya semakin kuturunkan dan sekejap kemudian tanpa sadar cd itu
sudah kulepas dari pahanya! Lagi-lagi Bimo membuktikan keampuhan rangsangannya
pada tubuhku. Kocokan zakarnya di mulutku semakin cepat, cepat dan craaat croot
crooot! Spermanya kontan memenuhi mulutku, ada yang tertelan, ada yang meleleh
keluar dari bibirku…. Sementara bibir bawahku pun memancarkan maninya lagi
bertubi-tubi… disambut oleh mulut Bimo yang menampungnya sampai tuntas. Tuntas tas,
sampai kami berdua terjelepak kecapaiannya di ranjang. Gemuruh dada dan
sengal-sengal nafas kami memenuhi udara kamar mesum itu.
“Thanks ya bu. Ibu sudah buka cdku, berarti
aku boleh melakukan apa saja dengan penisku pada ibu kan?” tanyanya menggodaku.
“Ta… tapi jangan kau hamili aku, Bim?”
“Memang ibu
masih bisa hamil?”
“Masih, Bim… meski sudah 45 tahun aku masih mens?”
“Ya, nanti kita atur sajalah, bu? yang penting
aku boleh masukkan penis ke sini kan?” rajuknya sambil mengelus vaginaku dan
membawa tanganku memegang penisnya.
“Tap…. tapi pelan-pelan saja ya Bim dan… jangan dikeluarkan di dalam?”
akhirnya aku memenuhi desakan nafsunya.
“Thanks, bu,”
katanya lagi sambil mengecupku dan menunggangiku lagi. Mengangkangkan pahaku
lagi lalu memacuku. Bagai joki tak kenal lelah. Aku pun rela jadi kuda pacu
lagi. Terlebih setelah merasakan barang panjang itu berkembang lagi
bergerak-gerak di selangkanganku. Menusuk-nusuk mencari jalan masuk.
“Bim, egh,
Bim… jangan masukkan
Bim..” aku masih takut-takut. Tapi Bimo tak peduli dan tetap mengarahkan kepala
zakarnya ke vaginaku. Menggosok-gosok pintu lubang, menjujut-jujut mau masuk.
Kurapatkan paha, tapi tangan Bimo cepat membukanya lagi, menekan ke kiri-kanan
dan “bleess” zakar panjang itu ambles ke dalam memekku yang licin penuh lendir
mani.
“Bim, gila
kamu!” Badanku melenting ke atas memeluknya, merasakan sensasi gila di
selangkangan. Yah, akhirnya sambil duduk kunikmati kocokan zakar Bimo yang
memaju-mundurkan pantatku. Sakit, nikmat, nafsu syahwat campur jadi satu.
“Bim… Bim… jangan keluarkan di dalam….” aku mengingatkan tapi Bimo malah
tambah rapat memeluk pantat belakangku dan menggerakkan pantatnya sendiri maju-mundur,
keluar masuk.
“Aku mau
sampai tuntas, bu..” bisiknya di sela-sela deru nafasnya.
“Aku bisa
hamil, Bim!”
“Aku tak
percaya.”
“Serius,
Bim!”
“Sekarang
kita nikmati saja, bu…. hamil urusan nanti.” Gocohannya tambah keras dan aku malah
semakin menggigil merasakan nikmat syahwat itu sampai ke ubun-ubun. Ketakutan
akan kehamilan pun jadi terlupakan.
Bimo
mendorongku telentang ke ranjang dan dia lalu jadi joki piawai. Mengolah
gerakan pantatnya, zakarnya keluar masuk, naik turun, mencangkul, menusuk, mengobrak-abrik
memekku sampai akhirnya dia menekan sangat keras dan crooot… crooot… crooot… cruuut… cruut…. Cret….!! Sperma hangat mengaliri rahimku
dan akupun mengejang berkejat-kejat lagi menumpahkan mani. Memeluk punggung dan pahanya
erat-erat. Kami mencapai puncak bersamaan. Dan ini kali pertama zakarnya
bersarang di vaginaku tanpa bisa kularang karena aku juga menginginkan. Resiko
hamil kujadikan urusan belakang.
Kenikmatan
itu terus kami reguk setelah mandi dan makan malam. Semalaman lagi kami
bergumul memanjakan syahwat hingga terdengar sirene kapal memberitahukan bahwa
pelabuhan tujuan sudah kelihatan. Namun untuk mencapai pelabuhan itupun masih
perlu waktu dua jam lagi dan itupun terus kami gunakan mereguk madu nafsu di
kapal itu. Kami biarkan penumpang lain turun lebih dulu supaya mereka tidak
melihat tubuh dan wajah kami yang kusut masai pucat pasi kehabisan mani.
Setelah itu
dua bulan aku menemani anakku di Irian Jaya, dan dua bulan itu pula kami secara
sembunyi-sembunyi terus berzinah. Demikian pula sewaktu Bimo mengantarku pulang
ke Jawa Timur, kami memilih naik kapal laut lagi, bahkan kami sempat menginap
tiga hari di hotel Surabaya sebelum pulang ke rumah. Tahun depan, aku berharap
Bimo mau menjemputku untuk menengok anakku lagi. Setelah merasakan kelelakian
Bimo, rasanya aku jadi tak kuat “puasa” berlama-lama. Aku tak mau dengan
laki-laki lain. Dan kukira aku harus segera sterilisasi untuk mencegah
kelahiran anakku sekaligus cucuku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar