Namaku Maya. Usiaku hampir mendekati
kepala tiga. Sudah menikah sejak lima tahun yang lalu namun belum dikarunia
anak. Suamiku berusia lebih tua dariku dengan jarak yang cukup jauh. Kehidupan
kami bisa dibilang bahagia, bisa juga dibilang tidak. Dalam kehidupan
sehari-hari, antara aku dan suamiku tidak ada permasalahan yang pelik dan tidak
mengancam pernikahan kami. Hanya saja dalam masalah kehidupan seksual ada
sedikit permasalahan yang menurut kami berdua bukan merupakan ancaman.
Kondisi
ini mungkin akibat belum adanya tanda-tanda kami akan dikaruniai seorang anak.
Kami rasakan hubungan intim antara aku dan suami jadi hambar, tidak seperti
tahun-tahun pertama pernikahan kami yang penuh dengan gelora, penuh dengan
cinta yang membara. Dan saat ini kami melakukannya hanya sekedar kewajiban
saja, tidak seperti dulu. Nampaknya kami pun tidak mempermasalahkan ini.
Akhirnya kami jadi sibuk mencari kegiatan masing-masing untuk menghilangkan
kejenuhan ini. Suamiku semakin giat bekerja dan usahanya semakin maju. Aku pun
demikian dengan mencari kegiatan lain yang bisa mengilangkan kejenuhanku. Kami
sama-sama sibuk dengan kegiatan masing-masing sehingga waktu untuk bermesraan
semakin jarang. Namun kelihatannya kami bisa menikmati kehidupan seperti ini
dan tidak mengakibatkan permasalahan yang berarti.
Keadaan
ini berlangsung cukup lama hingga suatu saat terjadi hal baru yang mewarnai
kehidupan kami, khususnya kehidupan pribadiku sendiri. Ketika itu kami mendapat
khabar bahwa ayahku yang berada di lain kota bermaksud datang ke tempat kami.
Suamiku langsung menyatakan kegembiraannya dan tanpa menunggu persetujuanku ia
mengharapkan ayahku cepat-cepat datang. Dia bilang sudah sangat rindu sekali
karena bisa bertemu kembali setelah pertemuan terakhir ketika kami menikah
dahulu. Demikian pula dengan ayahku, katanya kepada suamiku mengatakan bahwa ia
pun sangat rindu terutama kepadaku, anaknya yang tersayang. Aku hanya bisa
memandang suamiku yang tengah menerima telepon dengan perasaan gundah.
Setelah
mendapat khabar itu, aku jadi sering melamun. Aku jadi gelisah menunggu
kedatangan ayahku. Sebenarnya ia bukan ayah kandungku. Ia adalah ayah tiri. Ia menikahi ibuku ketika aku sudah
remaja. Ketika itu ayahku masih bujangan dan usianya berbeda cukup jauh dengan
ibuku. Kehidupan kami saat itu berlangsung normal. Tahun demi tahun berjalan
dan akupun mulai tumbuh semakin dewasa. Permasalahan mulai muncul ketika ibuku
mulai sakit-sakitan. Mungkin juga karena usia.
Di
sinilah awal dari segalanya. Ayahku yang masih muda dan penuh vitalitas merasa
kurang terpenuhi kebutuhannya dan mulai mencari-cari jalan keluarnya.
Celakanya, yang menjadi sasaran adalah diriku sendiri. Saat itu aku masih
sangat muda dan tidak mengerti apa-apa. Ayahku ini sangat pandai mengelabuiku
sehingga akhirnya aku terperangkap oleh semua akal bulusnya. Aku tidak berani
mengadukan hal ini kepada ibu. Takut malah akan membuatnya semakin parah.
Tetapi aku pun tak bisa menjamin bahwa ia tidak mengetahui apa yang terjadi
antara ayah dengan diriku. Sampai akhirnya ibuku wafat meninggalkanku sendiri,
anak semata wayangnya, untuk dititipkan pada ayah.
Sepeninggal
ibu, ayah semakin menjadi-jadi. Aku tak bisa berbuat banyak karena hidupku
sangat tergantung kepadanya. Beruntunglah beberapa tahun kemudian aku
mendapatkan jodoh dan menikah dengan suamiku yang sekarang. Aku diboyong
meninggalkan rumahku ke kota yang sangat jauh jaraknya. Itulah pengalaman yang
sangat kusesalkan hingga hari ini.
“Hei,
sayang!” tiba-tiba suamiku membuyarkan lamunanku.
“Kok malah ngelamun? Ayo kita berangkat sekarang, kasihan nanti ayahmu terlalu lama menunggu di stasiun kereta”, lanjutnya seraya mengambil kunci mobil untuk segera berangkat menjemput ayah.
Ketika sampai di stasiun, suamiku langsung mencari-cari ayahku sementara aku mengikutinya dari belakang dengan perasaan serba tak karuan. Gelisah, khawatir serta ada sedikit rasa rindu karena sudah lama tak bertemu, bercampur menjadi satu. Suamiku langsung berteriak gembira ketika menemukan sosok seorang pria yang tengah duduk sendiri di ruang tunggu. Orang itu langsung berdiri dan menghampiri kami. Ia lalu berpelukan dengan suamiku. Saling melepas rindu. Aku memperhatikan mereka. Aku agak terkesima karena ternyata ayahku tak berubah banyak dari ketika kutinggalkan dahulu. Ia nampak masih muda, meski kulihat ada beberapa helai uban di rambutnya. Tubuhnya masih tegap dan berotot. Kelihatannya ia tidak pernah meninggalkan kebiasaannya berolah raga sejak dulu.
“Kok malah ngelamun? Ayo kita berangkat sekarang, kasihan nanti ayahmu terlalu lama menunggu di stasiun kereta”, lanjutnya seraya mengambil kunci mobil untuk segera berangkat menjemput ayah.
Ketika sampai di stasiun, suamiku langsung mencari-cari ayahku sementara aku mengikutinya dari belakang dengan perasaan serba tak karuan. Gelisah, khawatir serta ada sedikit rasa rindu karena sudah lama tak bertemu, bercampur menjadi satu. Suamiku langsung berteriak gembira ketika menemukan sosok seorang pria yang tengah duduk sendiri di ruang tunggu. Orang itu langsung berdiri dan menghampiri kami. Ia lalu berpelukan dengan suamiku. Saling melepas rindu. Aku memperhatikan mereka. Aku agak terkesima karena ternyata ayahku tak berubah banyak dari ketika kutinggalkan dahulu. Ia nampak masih muda, meski kulihat ada beberapa helai uban di rambutnya. Tubuhnya masih tegap dan berotot. Kelihatannya ia tidak pernah meninggalkan kebiasaannya berolah raga sejak dulu.
“Hei
Maya. Apa khabar, sayangku”, sapa ayah kemudian ketika selesai berpelukan
dengan suamiku.
“Ayah,
apa khabar? Sehat-sehat saja khan?” balasku setengah terpaksa untuk
berbasa-basi.
Ayahku
mengembangkan kedua tangannya sambil menghampiriku. Aku sempat bingung
menghadapinya dan dengan spontan melirik pada suamiku yang kelihatannya seperti
tahu apa yang kupikirkan. Ia menganggukan kepalanya seolah menyuruhku untuk
menyambut rentangan tangan ayah.
Aku
lalu menghampiri ayahku. Ia langsung menyambutnya dengan memelukku. Aku terpana
dengan pelukannya yang erat dan kurasakan ayahku sesenggukan. Menangis sambil
berbisik betapa rindunya ia padaku. Aku jadi tak tega dan dengan refleks, balas
memeluknya sambil berkata bahwa aku baik-baik saja dan merasa rindu juga
kepadanya.
Ia
bersyukur bahwa masih ada orang yang merindukannya sambil terus memelukku
dengan erat. Aku jadi serba salah. Pelukannya jadi lain dan bahkan aku merasa
tubuhnya sengaja didesakan padaku. Aku berusaha untuk mendorongnya secara halus
dan jangan sampai hal ini diketahui suamiku. Ayahku masih juga genit! Ia sengaja
menggesek-gesekan tubuhnya padaku! Dasar lelaki celamitan, runtukku dalam hati.
“Ayo
kita ke rumah”, kata suamiku kemudian. Aku bersyukur bisa terlepas dari
pelukannya dan buru-buru menjauh.
Aku
lalu dengan sengaja memamerkan kemesraan dihadapan ayahku dengan memeluk
pinggang suamiku sambil menyandarkan kepala di dadanya. Suamiku balas memeluk
sambil berjalan menuju tempat parkir sementara ayahku hanya tersenyum melihat
semua ini. Aku tak tahu apa arti senyum itu. Aku hanya ingin memperlihatkan semua
ini kepadanya. Aku juga tak tahu apakah aku ingin membuatnya cemburu atau apa?
Sejak
adanya ayah di rumah, memang ada perubahan yang cukup berarti dalam kehidupan
kami. Sekarang suasana di rumah lebih hangat, penuh canda dan gelak tawa.
Ayahku memang pandai membawa diri, pandai mengambil hati orang. Termasuk
suamiku. Ia begitu senang dengan kehadirannya. Ia jadi lebih betah di rumah.
Ngobrol bersama, jalan-jalan bersama. Dan yang lebih menggembirakan lagi,
suamiku jadi lebih mesra kepadaku. Ia jadi sering mengajakku berhubungan intim.
Aku turut gembira dengan perubahan ini. Tadinya aku sempat khawatir akan
kehadiran ayah yang akan membuat masalah baru. Tetapi ternyata tidak. Justru
sebaliknya!
Namun
dibalik itu aku agak was-was juga karena kemesraan suamiku ternyata atas saran
ayahku. Katanya ia banyak memberi nasihat bagaimana cara membahagiakan seorang
istri. Hah? Aku terperanjat mendengar ini. Jangan-jangan..? Akh.., aku tak mau
berpikir sejauh itu. Rasa kekhawatiranku ternyata beralasan juga. Karena seringkali
secara diam-diam, ayah menatapku. Dari tatapannya aku sudah bisa menduga. Ia
sudah mulai berani menggodaku meski hanya berupa senyuman ataupun kerlingan
nakal. Aku tak pernah melayaninya. Aku tak mau suamiku tahu akan hal ini.
Kekhawatiran
berkembang menjadi rasa takut. Malam itu suamiku memberitahu bahwa ia akan
pergi ke luar kota untuk mengurus bisnisnya selama beberapa hari. Aku terkejut
dan berupaya mencegahnya agar jangan pergi.
“Memangnya
kenapa? Toh biasanya juga aku suka keluar kota untuk bisnis, bukan untuk
main-main”, katanya kemudian.
“Bukan
itu. Aku masih kangen sama kamu”, jawabku mencari alasan.
“Aku
cuma tiga hari. Mungkin kalau bisa cepet selesai, bisa dua hari aku sudah
kembali”, kata suamiku lagi.
“Kamu
di sini kan ada ayah, juga Si Inah. Jadi tak perlu takut ditinggal sendiri.”
Justru
itu yang kutakutkan, kataku tetapi hanya dalam hati. Aku tak bisa mencari alasan lain lagi karena khawatir justru dia malah curiga dan
semuanya jadi ketahuan. Akhirnya aku hanya bisa mengiyakan dan berpesan agar
dia cepat-cepat pulang.
Hari
pertama kepergian suamiku ke luar kota tak ada peristiwa yang mengkhawatirkan
meski ayahku lebih berani menggoda. Ada saja alasannya agar aku bisa berdekatan
dengannya. Bikinkan kopi lah, ambilkan Koran lah dan entah apa lagi alasannya.
Ia mencoba menggoda dengan memegang tanganku pada saat memberikan Koran
padanya. Buru-buru kutarik tanganku dan pergi ke kamar meninggalkannya.
Aku jadi semakin hati-hati terhadapnya.
Pintu kamar selalu kukunci dari dalam. Tetapi masih saja aku kecolongan sampai
suatu ketika terulang kembali perisitiwa masa lalu yang sering kusesalkan. Sore
itu aku habis senam seperti
biasanya sekali dalam seminggu. Setelah mandi aku langsung makan untuk kemudian
istirahat di kamar. Mungkin karena badan terasa penat dan pegal sehabis senam,
aku jadi mengantuk dan langsung tertidur. Celakanya, aku lupa mengunci pintu
kamar. Setengah bermimpi, aku merasakan tubuhku begitu nyaman. Rasa penat dan
pegal-pegal tadi berangsur hilang. Bahkan aku merasakan tubuhku bereaksi aneh.
Rasa nyaman sedikit demi sedikit berubah menjadi sesuatu yang membuatku
melayang-layang. Aku seperti dibuai oleh hembusan angin semilir yang menerpa
bagian-bagian peka di tubuhku. Tanpa sadar aku menggeliat merasakan semua ini
sambil melenguh perlahan.
Dalam
tidurku, aku mengira ini perbuatan suamiku yang memang akhir-akhir ini suka
mencumbuku di kala tidur. Namun begitu ingat bahwa ia masih di luar kota, aku
segera terbangun dan membuka mataku lebar-lebar. Hampir saja aku menjerit
sekuat tenaga begitu melihat ayah sambil tersenyum tengah menciumi betisku,
sementara dasterku sudah terangkat tinggi-tinggi hingga memperlihatkan seluruh
pahaku yang putih mulus.
“Ayah!
Ngapain ke sini?” bentakku dengan suara tertahan karena takut terdengar oleh Si
Inah pembantuku.
“Maya,
maafkan ayah. Kamu jangan marah seperti itu dong, sayang”, ia malah berkata
seperti itu bukannya malu didamprat olehku.
“Ayah
nggak boleh. Keluar, saya mohon”, pintaku menghiba karena kulihat tatapan mata
ayah demikian liar menggerayang ke sekujur tubuhku.
Aku
buru-buru menurunkan daster menutupi pahaku. Aku beringsut menjauhinya dan
mepet ke ujung ranjang. Ayah kembali menghampiriku dan duduk persis di sampingku.
Tubuhnya mepet kepadaku. Aku semakin ketakutan.
“Kamu
tidak kasihan melihat ayah seperti ini? Ayolah, kita khan pernah melakukannya”,
desaknya.
“Jangan
bicarakan masa lalu. Aku sudah melupakannya dan tak akan pernah mengulanginya”,
jawabku dengan marah karena diingatkan perisitiwa yang paling kusesali.
“OK.
Ayah nggak akan cerita itu lagi. Tapi kasihanilah ayahmu ini. Sudah
bertahun-tahun tidak pernah merasakannya lagi”, lanjutnya kemudian.
Ayah
lalu bercerita bahw ia tak pernah berhubungan dengan wanita lain selain ibu dan
diriku. Dia tak pernah merasa tertarik selain dengan kami. Aku setengah tak
percaya mendengar omongannya. Ia memang pandai sekali membuat wanita
tersanjung. Dan entah kenapa akupun merasakan hal seperti itu. Ketika kutatap
wajahnya, aku jadi trenyuh dan berpikir bagaimana caranya untuk menurunkan
hasrat ayah yang kelihatan sudah menggebu-gebu. Aku tahu persis ayah akan
berbuat apapun bila sudah dalam keadaan seperti ini. Akhirnya aku mengalah dan
mau mengocok batangnya agar ia bisa tenang kembali.
“Baiklah..”,
kata ayahku seakan tidak punya pilihan lain karena aku ngotot tak akan
memberikan apa yang dimintanya.
Mungkin
inilah kesalahanku. Aku terlalu yakin bahwa jalan keluar ini akan meredam
keganasannya. Kupikir biasanya lelaki kalau sudah tersalurkan pasti akan surut
nafsunya untuk kemudian tertidur. Aku lalu menarik celana pendeknya. Ugh!
Sialan, ternyata dia sudah tidak memakai celana dalam lagi. Begitu celananya
kutarik, batangnya langsung melonjak berdiri seperti ada pernya. Aku agak
terkesima juga melihat batang ayah yang masih gagah perkasa, padahal usianya
sudah tidak muda lagi.
Tanganku
bergerak canggung. Bagaimananpun juga baru kali ini aku memegang kontol orang
selain milik suamiku meski dulu pernah merasakannya juga. Tapi itu dulu sekali.
Perlahan-lahan tanganku menggenggam batangnya. Kudengar ayah melenguh seraya
menyebut namaku. Aku mendongak melirik kepadanya. Nampak wajah ayah meringis
menahan remasan lembut tangannku pada batangnya. Aku mulai bergerak turun naik
menyusuri batangnya yang sudah teramat keras. Sekali-sekali ujung telunjukku
mengusap moncongnya yang sudah licin oleh cairan yang meleleh dari liangnya.
Kudengar ayah kembali melenguh merasakan ngilu akibat usapanku. Aku tahu ayah
sudah sangat bernafsu sekali dan mungkin dalam beberapa kali kocokan ia akan
menyemburkan air maninya. Selesai sudah, pikirku mulai tenang.
Dua
menit, tiga sampai lima menit berikutnya ayah masih bertahan meski kocokanku
sudah semakin cepat. Kurasakan tangan ayah menggerayang ke arah dadaku. Aku
kembali mengingatkan agar jangan berbuat macam-macam.
“Biar
cepet keluar..”, kata ayah memberi alasan.
Aku
tidak mengiyakan dan juga tidak menepisnya karena kupikir ada benarnya juga.
Biar cepat selesai, kataku dalam hati. Ayah tersenyum melihatku tidak
melarangnya lagi. Ia dengan lembut mulai meremas-remas payudara di balik
dasterku. Aku memang tidak mengenakan kutang setiap akan tidur, jadi remasan
tangan ayah langsung terasa karena kain daster itu sangat tipis. Sebagai wanita
normal, aku merasakan kenikmatan atas remasan ini. Apalagi tanganku menggenggam
batangnya dengan erat, setidaknya aku mulai terpengaruh oleh keadaan ini. Meski
dalam hati aku sudah bertekad untuk menahan diri dan melakukan semua ini demi
kebaikan diriku juga. Karena tentunya setelah ini selesai ayah tidak akan
berbuat lebih jauh lagi seperti dulu.
“Maya
sayang.., buka ya? Sedikit aja..”, pinta ayah kemudian.
“Jangan
Yah. Tadi khan sudah janji nggak akan macam-macam..”, ujarku mengingatkan.
“Sedikit
aja. Ya?” desaknya lagi seraya menggeser tali daster dari pundakku sehingga
bagian atas tubuhku terbuka.
Aku
jadi gamang dan serba salah. Sementara bagian dada hingga ke pinggang sudah
telanjang. Nafas ayahku semakin memburu kencang melihatku setengah telanjang.
“Oh..,
Maya kamu benar-benar cantik sekali”, pujinya sambil memilin-milin puting
susuku.
Aku
terperangah. Situasi sudah mulai mengarah pada hal yang tidak kuinginkan. Aku
harus bertindak cepat. Tanpa pikir panjang, langsung kumasukan batang ayah ke
dalam mulutku dan mengulumnya sebisa mungkin agar ia cepat-cepat selesai dan
tidak berlanjut lebih jauh lagi. Aku sudah tidak memperdulikan perbuatan ayah
pada tubuhku. Aku biarkan tangannya dengan leluasa menggerayang ke sekujur
tubuhku, bahkan ketika kurasakan bibirnya mulai menciumi buah dadaku pun aku
tak berusaha mencegahnya. Aku lebih berkonsentrasi untuk menyelesaikan semua
ini secepatnya. Jilatan dan kulumanku pada batang kontolnya semakin mengganas
sampai-sampai ayahku terengah-engah merasakan kelihaian permainan mulutku.
Aku
tambah bersemangat dan semakin yakin dengan kemampuanku untuk membuatnya segera
selesai. Keyakinanku ini ternyata berakibat fatal bagiku. Sudah hampir setengah
jam, aku belum melihat tanda-tanda apapun dari ayahku. Aku jadi penasaran,
sekaligus merasa tertantang. Suamiku pun yang sudah terbiasa denganku, bila
sudah kukeluarkan kemampuan seperti ini pasti takkan bertahan lama. Tapi kenapa
dengan ayahku? Apa ia memakai obat kuat?
Saking
penasarannya, aku jadi kurang memperhatikan perbuatan ayah padaku. Entah sejak
kapan daster tidurku sudah terlepas dari tubuhku. Aku baru sadar ketika ayah
berusaha menarik celana dalamku dan itu pun terlambat! Begitu menengok ke
bawah, celana itu baru saja terlepas dari ujung kakiku. Aku sudah telanjang
bulat! Ya ampun, kenapa kubiarkan semua ini terjadi. Aku menyesal kenapa
memulainya. Ternyata kejadiannya tidak seperti yang kurencanakan. Aku terlalu
sombong dengan keyakinanku. Kini semuanya sudah terlambat. Berantakan semuanya!
Pekikku dalam hati penuh penyesalan.
Situasi semakin tak terkendali. Lagi-lagi
aku kecolongan. Ayah dengan lihainya dan tanpa kusadari sudah membalikkan
tubuhku hingga berlawanan dengan posisi tubuhnya. Kepalaku berada di bawahnya
sementara kepalanya berada di bawahku. Kami sudah berada dalam posisi enam
sembilan! Tak lama kemudian kurasakan sentuhan lembut di seputar selangkangan dan memekku. Tubuhku langsung bereaksi dan tanpa sadar aku
menjerit lirih. Suka tidak suka, mau tidak mau, kurasakan kenikmatan cumbuan
ayahku di sekitar itu. Akh luar biasa! Aku menjerit dalam hati sambil menyesali
diri. Aku marah pada diriku sendiri, terutama pada tubuhku sendiri yang sudah
tidak mau mengikuti perintah pikiran sehatku.
Tubuhku
meliuk-liuk mengikuti irama permainan lidah ayah. Kedua pahaku mengempit kepalanya
seolah ingin membenamkan wajah itu ke dalam selangkanganku. Kuakui ia memang
pandai membuat birahiku memuncak. Kini aku sudah lupa dengan siasat semula. Aku
sudah terbawa arus. Aku malah ingin mengimbangi permainannya. Mulutku bermain
dengan lincah. Batangnya kukempit dengan buah dadaku yang membusung penuh dan
masih kenyal.
Sementara
kontol itu bergerak di antara buah dadaku, mulutku tak pernah lepas
mengulumnya. Tanpa kusadari kami saling mencumbu bagian vital masing-masing
selama lima belas menit. Aku semakin yakin kalau ayah memakai obat kuat. Ia
sama sekali belum memperlihatkan tanda-tanda akan keluar, sementara aku sudah
mulai merasakan desiran-desiran kuat bergerak cepat ke arah pusat kewanitaanku.
Jilatan dan hisapan mulut ayah benar-benar membuatku tak berdaya. Aku semakin
tak terkendali. Pinggulku meliuk-liuk liar. Tubuhku mengejang, seluruh aliran
darah serasa terhenti dan aku tak kuasa untuk menahan desakan kuat gelombang
lahar panas yang mengalir begitu cepat.
“Auugghh..!”
aku menjerit lirih begitu aliran itu mendobrak pertahananku. Orgasmeku.
Situasi sudah tak terkendali. Lagi-lagi aku kecolongan, tanpa kusadari Ayah sudah membalikkan tubuhnya hingga posisi tubuhnya diatas tubuhku. Ayah dengan lermbut mencium bibirku, memainkan lidah
di mulutku yang terbuka sedikit, karena tubuhku telah trlena. Kami tadinya dalam
posisi enam sembilan, sekarang kurasakan sentuhan ujung kepala penisnya
di seputar selangkangan dan memekku.
Tubuhku langsung bereaksi dan tanpa sadar aku menjerit lirih, ketika kurasakan
kenikmatan masuknya
batang lelaki ayahku memasuki vaginaku yang
sudah lama tak tersentuh penis suamiku. Akh
luar biasa! Aku menjerit dalam hati sambil menyesali diri. Aku marah pada
diriku sendiri, terutama pada tubuhku sendiri yang sudah tidak mau mengikuti
perintah pikiran sehatku.
Tubuhku
meliuk-liuk mengikuti irama goyangan keluar masuk batang penis ayah. Kedua pahaku mengangkan seakan memberi ruang
gerak naik turun tubuhnya sementara di dalam vaginaku menjepit batang penisnya, meremas karena tubuhku
sudah diambang pintu puncak kenikmatan.
Kuakui ia memang pandai membuat birahiku memuncak. Kini aku sudah tak ingat apa-apa,
hanya satu keinginanku yaitu ingin aku puas dalam berhubungan sex terlarang ini. Aku mengimbangi permainannya.
Sementara
kontol itu bergerak keluar masuk di memekku, mulutnya tak pernah
lepas mengulum mulutku. Tanpa kusadari kami saling
mencumbu baik
di atas bibir kami berciuman mesra, di tengah dada kami menyatu, karena kami
sangat erat berpelukan, di bawah kemaluan kami juga menyatu, penis Ayah keluar
masuk di dalam memekku. Aku semakin yakin
kalau ayah memakai obat kuat. Ia sama sekali belum memperlihatkan tanda-tanda
akan keluar, sementara aku sudah mulai merasakan desiran-desiran kuat di sekujur tubuhku. Permainan sex ayah
benar-benar membuatku tak berdaya. Aku semakin tak terkendali. Pinggulku
meliuk-liuk liar. Tubuhku mengejang, seluruh aliran darah serasa terhenti dan
aku tak kuasa untuk menahan desakan kuat gelombang lahar panas yang mengalir
begitu cepat.
“Ah… ah… ought….sssssssttttttssssss
….. aaaaaaaarrrrrgghhhhhh…” aku orgasme lagi. Mendengar erangan ku, Ayah
semakin bersemangat. Tak henti-hentinya ia bergerak naik turun, mengejar
kenikmatan bersetubuh, demikian pula tubuhku mendapat perlakuan dari lelaki
yang perkasa seperti Ayahku ini maka orgasmeku datang lagi sampai lima kali.
Dan akhirnya Ayah menyemburkan air maninya di dalam vaginaku yang masih
merasakan puncak kenikmatan yang kelima kalinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar