Sabtu, 11 Agustus 2012

Yanti dan Calon Mertua

Hand phone cellulerku tiba-tiba berbunyi. Setelah ku angkat ternyata aku mendapat kabar kalau Anton tiba-tiba saja masuk Rumah Sakit. Menurut keterangan yang kuterima via telepon dari Baron, Ayah Anton, terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena infeksi usus buntu. Dan memang sudah 2-3 hari terakhir ini Anton mengeluh perutnya sakit.
Dengan perasaan sedikit panik, aku bergegas menuju ke rumah sakit dimana pacarku dirawat di rumah sakit itu.
Sesampainya di rumah sakit, aku mendapati Ayah Anton yaitu Baron tengah menunggui Anton yang sedang dioperasi usus buntu. Baron lelaki setengah baya, berusia sekitar 50 tahunan terduduk gelisah di depan ruang operasi. Ia seorang duda yg ditinggal pergi istrinya karena selingkuh dengan laki-laki lain. Anton, pacarku, adalah anaknya yang diasuhnya sejak kecil hingga kini. Aku memanggilnya dengan sebutan Papa Baron.
Wajah Papa Baron yang lelah tampak gembira setelah ia melihat kedatanganku di rumah sakit itu. Sekedar basa-basi aku lalu menanyakan kondisi Anton. Papa Baron memberi penjelasan singkat bahwa kondisi Anton baik-baik saja.
Waktu berlalu dengan cepat. Tanpa terasa aku dan Papa Baron, sudah menunggui hampir 4 jam di depan ruang Operasi. Operasi usus buntu berjalan sukses. Anton sudah siuman dan sudah dipindahkan ke ruang perawatan untuk menjalani penyembuhan.
Waktu sudah menunjukkan hampir jam 12 malam. Anton sudah tertidur dengan nyenyak di ruang perawatan. Aku lalu pamit pada Papa Baron untuk pulang.
”Mari Papa antar kamu pulang, Yanti”, Papa Baron, Ayah Anton, berkata padaku dengan suara yang sangat berwibawa.

”Gak usah, Papa, Yanti bisa pulang sendiri kok”, jawabku sungkan. Kami memang terbiasa memangil dengan sebutan Papa padanya. Maklum, Papa Baron biar begitu adalah Calon Mertua, dan aku sedikit banyak agak segan juga.
”Tenanglah, Papa juga akan pulang kok, jadi bisa antar kamu sampai”
Akhirnya, aku pulang malam itu diantar oleh Papa Baron. Sepanjang perjalanan kami hanya terdiam. Papa Baron mengendarai mobilnya dengan tenang. Wajahnya tampak sangat berwibawa. Meskipun usianya sudah matang, tapi masih terlihat garis-garis ketampanannya.
Tak lama akhirnya mobil yang dikendarai Papa Baron sampai di depan kost-kost-an ku. Aku lalu berbasa-basi padanya ;
”Papa mampir dulu ya. Papa bisa menikmati seteguk dua teguk wedang jahe untuk sekedar menghangatkan badan”
Papa Baron tampak berpikir. Ia melihat arlojinya sejenak. Ia tampak ragu-ragu. Wajahnya sepertinya hendak menolak tawaranku. Aku sedikit memaksa, “Ayolaaaah, Papa….”
“Hmmm okelah…” Akhirnya Papa Baron setuju mampir ke dalam kost-kost-an ku.
Sesampainya di kost-kost-an ku yang hampir sama dengan apartemen, Papa Baron mengambil duduk di sofa. Gerakannya tampak santai. Aku bergerak ke belakang untuk menuangkan dua gelas wedang jahe panas.
“Aku merasa prihatin dengan keadaan Anton …Mudah-mudahan dia cepat sembuh”, kata Papa Baron tenang sambil meneguk gelas yang berisi wedang jahe.
Dalam tiga puluh menit berikutnya kami berbincang dengan tentang Anton dan kondisi rumahnya. Papa Baron adalah seorang pekerja. Selama ini ia menghidupi dirinya dan Anton dengan bekerja keras. Dan tanpa terasa kami sudah menghabiskan wedang jahe hampir tiga gelas dan aku mulai merasa agak hangat.
Mungkin karena suasana dingin dan tubuh sudah hangat karena wedang jahe, akhirnya aku punya pikiran kotor (mesum), biasanya kalau sudah begini Anton menghangatkan tubuhku dengan bergumul sampai kami sama-sama puas. Dan kini akupun memandangi wajah papa calon mertuaku yang tampan. Untuk pria seusianya, aku merasa betapa Papa Baron memiliki daya tarik yang sangat besar. Postur tubuhnya sangat gagah dan tinggi tegap dan rambutnya berombak lebat. Matanya setajam elang yang membuat orang gentar tatkala memandangnya. Sedikit uban yang menghiasi kepalanya menjadikan Papa Baron semakin tampak matang sekaligus seksi.
Aku menarik nafas dalam-dalam lalu menhembuskannya dengan perlahan.. What’s the matter with me? Ini Calon Papa Mertuaku, Papanya Anton, dan aku membayangkan bagaimana rasanya bersetubuh dengannya. Gila….! Aku lalu menyingkirkan pikiran itu jauh-jauh dari benakku.
Tapi sedetik kemudian, pikiran tersebut menyergapku lagi. Aku mencoba melawan kata hatiku untuk tidak menggoda Calon Papa Mertuaku. Aku merasakan tetekku mulai mengeras di balik pakaianku. Aku juga merasakan selangkanganku menjadi basah oleh birahi dan nafasku menjadi tersengal.
Tiba-tiba timbul pikiranku untuk mengarahkan pembicaraan ke topik seputar seks. Apakah Papa akan merasa ‘jijik’. Sejenak aku ragu-ragu. Tapi akhirnya aku beranikan diri juga pada akhirnya.
“Papa, aku boleh nanya?”, kataku tersendat.
”Tanya apa, Yanti?”, kata Papa Baron melirikku sekilas.
”Papa jangan marah ya….”
”Gak”
”Papa kan bertahun-tahun hidup berdua dengan Anton. Apa gak ingin cari istri lagi”, Kataku memberanikan diri.
Tiba-tiba, Papa Baron menatapku tajam, ”Maksud kamu apa Yanti?”
”Eh…eh… maaf Pa… Yanti cuma nanya aja.
”Maksud kamu, selama ini Papa menyalurkan sexnya kemana?”
”Iya…iya Papa….” Aku menjawab gugup.
”Ah… untuk urusan itu gampanglah…”
Aku merasakan suara jawaban Papa Baron sedikit bergetar. Dan saat aku memandang Papa Baron, sepertinya ada tarikan nafas yg bergetar.
Aku melihat Papa Baron menarik nafas dengan sedikit sulit karena statement terakhirnya tadi. Alisnya terangkat naik saat Papa Baron sekilas melirikku, lalu pandangannya menurun ke arah pahaku. Tapi Papa Baron hanya mengangguk dan kemudian tersenyum. Hatiku semakin mantap Papa Baron pasti punya pikiran yang sama dengan ku, lalu sedikit menggeser posisi dudukku ke dekat Papa Baron.
“Apa papa suka jajan?” tanyanya kembali.
Papa Baron tidak menjawab. Ia melirikku sejenak. Dari tatapan matanya aku yakin ada yang bergelora di dalam dadanya. Lalu aku kembali melanjutkan pertanyaanku; ”Apa Papa malam ini butuh kehangatan?”
“Aku rasa kita tak semestinya bicarakan ini,” kata Papa Baron dengan nervous.
Untuk beberapa saat, aku tak mampu berkata apa-apa. Aku merasa seperti sudah berkelakuan layaknya seorang wanita murahan di hadapan calon papa mertuaku. Aku sudah mengucapkan kata-kata rayuan untuk menggodanya.
Tiba-tiba saja pandanganku menyapu ke arah selangkangan Papa Baron. Hampir saja aku terkejut begitu melihat tonjolan yang terlihat menggelembung keras. Dengan cepat aku memalingkan pandanganku karena aku tertangkap basah, Papa Baron mengetahui kalau aku melihat celananya yang menggelembung. Mungkin pipiku memerah, sehingga Papa Baron, Papa calon mertuaku sendiri merubah posisi duduknya hingga sekarang posisinya dekat sekali dengan tubuhku, aku diam menanti aksi selanjutnya, aku sudah bertekat dalam hatiku kalau Papa tidak agresif aku akan menyerangnya. Pokoknya aku harus mendapatkan tubuhnya sekarang. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, aku diam menunggu. Dan akhirnya Papa Baron merangkulkan tangannya ke pundakku dan tangan satunya menggenggam tanganku.
“…Hmm… Yanti…” Papa Baron tak mampu untuk melawan kenyataan bahwa dia sudah tergoda untuk mencicipi anggur dari cawan rayuan yang aku suguhkan dari calon manantunya ini. Perlahan Papa Baron lalu menyentuh paha kakiku dengan tangannya yang gemetar.
“Ya… Papa… ada apa Papa?” Kataku dengan senyum menggoda
“Yanti… kamu menggoda Papa…” Suarana Papa Baron terdengar rendah dan bergetar.
“Maafkan Yanti, kalau Papa merasa terganggu,” kataku lembut, mataku tertuju pada tangan Papa Baron.
Papa Baron menelan ludahnya dengan susah payah dan menatap mataku “Jangan … Papa” kataku yang tak jujur.”Yanti takut Anton marah nanti, Pa. Aku calon isteri anakmu, Anton. Papa….”
“Gak ada seorangpun yang akan tahu, Yanti” Papa memberikan sebuah alasan dengan suara yang lembut menghanyutkan.
“Oh, Papa”
Aku memperhatikan saat tangan Papa Baron mulai menelusuri sepanjang paha bagian dalam dengan perlahan, lalu turun ke bawah lutut. Sebelah tangan Papa Baron terus meraba menelusuri kehalusan paha dan kaki jenjangku, sedangkan yang sebelahnya lagi melakukan pijatan lembut pada kakiku yang seksi. Tangan Papa Baron terasa nikmat dan bagian tabu dari apa yang tengah mereka lakukan ini hanya semakin menaikkan kenikmatan yang melandaku dengan hebat. Aku menyadari kalau aku sudah menggoda calon papa mertuaku, sesuatu yang terlarang dan tak pernah aku lakukan sebelumnya.
“Papa…” Aku menunggu sesaat hingga perhatian Papa Baron sepenuhnya terhadapku. Mata kami saling menatap. Lalu Papa berata : “Tak ada seorangpun yang boleh tahu. Ini harus menjadi rahasia kita berdua, Yanti.”
Dengan perlahan, dan mata masih terpaku pada mata Papa Baron, Aku mulai menyingkapkan dan menanggalkan pakaianku satu persatu. Aku melihat mata papa Baron terbelalak lebar dan seakan ingin menelan sekujur tubuhnya yang hanya semakin membuat nafasku seakan tercekat. Aku lalu menaikkan kaki kiriku dan menempatkanku di atas sandaran sofa dan kaki yang sebelahnya lagi diturunkannya berpijak di atas lantai, hingga membuat selangkanganku terpentang lebar, menjadikan memekku terpampang jelas di hadapan Papa Baron.
Dengan suaranya yang lirih dan bergetar Papa berkata, “Yanti… kamu baru mencukur bersih memekmu, ya?”
“Apa Papa suka melihat memek tanpa jembut?”
Dengan suara yang bergetar dan hampir mendesis terdengar suara Papa Baron,; “Aku suka memekmu, Yanti!”
“Aku sudah ngga perawan, Papa! Sudah dijamah Anton, Pa!”
“Ngga apa-apa, dengan begitu rahasia kita bisa aman”
“Ya,…. Papa, …. Sentuhlah aku Papa….”
Aku sudah sepenuhnya kehilangan kendali dan akal sehatku, tersesat dalam gairahku terhadap Papa Baron, Papa calon mertuaku sendiri. Papa Baron mulai bergeser di antara pahaku yang terbentang lebar dan mulai menjilat pahaku. Lidahnya itu terasa sungguh nikmat bagitu menyapu kulit lembutku, mengirimkan sebuah sengatan listrik kecil jauh ke dalam perutku. Jemariku menyisiri rambut Papa Baron yang berombak tebal, mengalirkan birahi murni yang terpendar dari sekujur tubuhku.

Lidah Papa Baron meluncur dengan mudah di sepanjang belahan bibir memekku yang telah basah dan licin hingga pada kelentitku yang sensitive. Punggungku melengkung terangkat naik dan kutekan kepala Papa Baron hingga wajahnya semakin terbenam dalam selangkanganku. Lidah Papa Baron mulai menelusup ke dalam lubang memekku, mengisap kelentitku dan menyapu seluruh permukaan bibir memekku dengan penuh gairah. Sebuah lenguhan kecil mulai keluar dari mulutku dan aku mulai meracau ketika lidah Papa Baron dengan intensif menaikkan kenikmatannya semakin tinggi.
Aku mulai menggoyangkan pinggulku pelan, supaya mulut Papa Baron menggesek memekku yang basah. Kepalaku terlempar ke kanan-kiri dihantam gelombang birahi, dan bibir bawahku kugigit erat untuk sedikit meredakan amukan itu. Ini sungguh terasa nikmat! Papa Baron yang tampan dan seksi sedang melahap memekku! Aku tak akan merasa cukup menikmati lidahnya yang panas!
“Oh, yes! Oh, yes! Oh, yes!” Jeritku. “Sangat enak, Papa! Oooohhh Papa…. Memek… ku…. Ohhhh… enak Pa”
“Oh, yeah, Yanti!” jawab Papa Baron dalam suara parau. “Aku suka memekmu!”
“Yesssss! Jangan berhenti Papa! Oh… terusssssssss…!”
Hubungan aku dan Papa Baron sebelumnya terjalin hangat dan akrab, sepatutnya terjaga kesopanan antara papa dan calon isteri puteranya, tapi kali ini sungguh sangat berbeda. Kenyataannya Papa Baron sedang melahap memekku dengan begitu buas yang semestinya milik Anton. Hal ini sangatlah tabu tapi aku sangat menyukainya.
“Sshhh!” Aku berdesis nikmat.
“Kamu suka, Yanti? ya?”
“Yesssss! Apa Papa suka menjilati memek calon isteri putera Papa ini?”
“Oh, … tentu saja…., yes!”
“Yessssssssss! Papaaa! Memek ku….. hampir….! Oo Papaaaaaaaa… memek Yanti enak banget Papa… , Papa… terus, Papa… Oh…Oh…Oh…”
Papa Baron menyerang memekku tanpa ampun. Lidah dan bibirnya melahap setiap sentimeter memekku yang semakin basah kuyup tersebut, merangsak ke dalam lubang memekku, dan menyapu liar kelentitku dengan seluruh nafsunya untuk menghantarkan aku semakin mendekati orgasmeku. Pinggulku bergoyang dengan liar diiringi erangan mesum dari mulutku. “enak, Papaaaaaaa…. Oh…Oh… Oh… memek Yanti enak banget Papa…!” Tanganku menarik dan memilin putingku sendiri dengan kasar hingga membuatku menjeritkan suara racauan kenikmatan. Aku sudah hampir sampai, sudah sangat dekat. Dan tiba-tiba saja punggungku melengkung terangkat naik dari atas sofa.
“Aaaaaaaarrrrrgggggghhh!” jeritanku terdengar keras membahana. “Paaaapaaaaaa…… ssssss…. Ooohhhh….. enaaaaak….!”
Jeritanku terlepas dari mulutku, menebarkan kegaduhan mesum dalam ruangan ini mengiringi tubuhku yang menggeliat dan menghentak dan menaik-turunkan pinggulku dengan liar. Memekku menggosok mulut Papa Baron dengan keras. Gerakan cepat naik turun dan mengejat dari pinggulku membawaku menaiki gelombang orgasme yang intens dan dahsyat. Papa Baron memegangi pinggulku, menahannya hingga akhirnya kembali rebah di atas sofa dengan nafas tersengal dan tubuh gemetar hebat. Mataku terbelalak lebar memandangi Papa Baron.
“Aku ngga nyangka… sehebat ini, Papa!” kataku tersengal. “Belum pernah aku orgasme seperti ini sebelumnya!”
Papa Baron tersenyum.
Papa Baron menarik tubuhku dengan lembut ke dalam pelukannya kemudian menempelkan bibirnya ke bibirku dengan erat. Segera saja mulutku membuka untuknya dan terdengar suara erangan kenikmatan dari mulutku yang tersumpal mulut Papa Baron. Kami saling berciuman cukup lama dan dalam, lidah kami saling mengeksplorasi mulut masing-masing dengan gairah menggebu. Kami saling menyentuh dan meraba, dan Papa Baron menikmati rasa dari kelembutan tubuhku dalam dekapannya.
Tanganku mulai bergerak melucuti pakaian Papa Baron, bergerak dengan cekatan melepaskan kancing demi kancing baju. Papa Baron menendang lepas sepatunya, melapaskan kaus kaki, melepaskan celana panjang dan pakaian dalamnya. Akhirnya tak lama kemudian Papa Baron sudah tak berpakaian lagi. Kami berdua sudah sama-sama bugil.
Aku lalu berkata manja pada Papa Baron, ”Papa, kita mainnya di dalam kamar aja yuk. Kasur di dalam kamar Yanti luas dan empuk lagi”.
Papa Baron membopongku berjalan masuk menuju kamarku yang nyaman. Kedua lenganku melingkari leher Papa Baron tatkala ia membopong, mirip pengantin baru yang tidak sabar mau berperang. Tak lama aku lalu direbahkan di atas kasur. Birahiku sudah sangat memuncak.
Aku menatap dengan penuh gairah pada tubuh telanjang Papa Baron. Tinggi tegap dan gagah, dada bidangnya tertutupi oleh rambut yang lebat. Mataku turun tertuju pada batang kontolnya dan dia mengerang lirih. Sebuah batang kejantanan yang besar dan gemuk, sama seperti punya Anton.
“Papa. Yanti udah pengen banget sama ini, Papa.” desisku sambil memegang batang penisnya. “Aku mau kontol besar Papa masuk ke dalam memekku! Aku mau Papa tusuk Yanti. Aku mau Papa gumuli Yanti sampe Yanti benar-benar puas”
“Kamu yakin?” Tanya Papa Baron memastikan.
“Ya,” jawabku memotong. “Yanti ini Papa di dalam tubuh Yanti! Aku ingin merasakan kontol Papa menyemburkan peju Papa di dalam rahimku dan mengisiku dengan benih Papa!”
“Oh, Yanti…”, sahut Papa Baron
Papa Baron bergerak ke antara pahaku yang terbentang lebar dan memposisikan kepala kontolnya di depan pintu masuk lubang memekku. Dengan perlahan Papa Baron menggerakkan kepala kontolnya naik turun di sepanjang belahan bibir memekku untuk membasahinya dan dengan matanya yang terpaku tepat di mataku, didorongnya batang kontol Papa Baron masuk dengan sekali hentakan yang lembut namun mantap. Nafasku tersengal dan mengerang kenikmatan. Papa Baron segera menyambar bibirku, melumatnya dalam sebuah ciuman yang panjang. Kakiku yang jenjang melingkari pinggang Papa Baron saat dia mulai mengayunkan pinggangnya, melesakkan batang kontolnya keluar masuk dalam memekku. Tanganku melingkari leher Papa Baron dan tanganku mengusap punggung Papa Baron saat aku menerima dengan seluruh jiwa ragaku saat kontol Papa Baron memasuki lobang memekku.
“memek kamu, Yanti!” erang Papa Baron dengan suara parau.
“Papa …. Besar … banget…, Yanti… tersa penuh… Papa…!”
“Ohhhhhhhhhh!”
Papa Baron memasuk keluarkan batang penisnya pada memek calon Menantu Perempuannya bahkan bisa saja dia akan membuatnya bunting. Tingkah laku berselimutkan nafsu terlarang yang dilakukannya dengan calon menantunya yang ayu ini dan memungkinkan Papa Baron menaburi benih di rahimku sungguh ini sangat menggairahkan. Aku menggeram begitu merasakan kenikmatan laksana beludru yang sangat lembut dari dinding memekku mencengkeram erat batang kontol Papa Baron yang keras. Perasaan bersalah yang singgah dalam hatiku di awal sudah lenyap tak berbekas. Yang ingin kulakukan saat ini hanyalah puas dan puas, sepuasnya dengan lelaki terlarang yg bernama Papa Baron.
“Papa enak Papa?”
“Oh, ya!”
“Yesssss! Papa!”
“Ooohhh, Yanti!” seru Papa Baron sambil menggigit bibir bawahku. “Mulai sekarang kamu akan menjadi pemuasku, kamu mau? Yantiiiiii!”
“Oh, papaaa! Aku mau Papa…. terus Papa…. Buat Yanti puas sama Papa. Kontol Papa bikin memek Yanti enak.”
Papa Baron mulai merangsek memekku dengan cepat dan keras. Buah zakarnya menghantam pantatku setiap kali batang kontolnya yang keras masuk jauh ke dalam memekku. Tubuhku menggelinjang oleh gairah, kuku-kuku panjang jemari lentikku menancap erat ke dalam punggung Papa Baron untuk membuat pinggulnya semakin terangkat naik hingga memekku semakin menempel erat pada batang kontol Papa Baron yang mengocoknya dengan cepat dan keras. Tubuh kami saling menggeliat dan menghentak dalam irama bersetubuh bersamaan, suara erangan, lenguhan dan nafas yang tersengal beserta suara kulit basah yang saling menampar keras seakan menjadi musik pengiring bagi pergumulan kami untuk segera menggapai puncak kenikmatan bersama.
Tak lama berselang, Papa Baron merasakan sebuah letupan perasaan yang memberinya tanda kalau dia akan segera orgasme. Dia memperlambat kocokannya, menahan gerakannya untuk beberapa saat dan meresapi kenikmatan dari rasa manis memekku lebih lama lagi. Tapi dia tak mampu mengontrol tubuhnya lebih lama lagi. Segera dia meneruskan hentakan dan kocokan batang kontolnya ke dalam memekku dengan sebuah dorongan yang panjang, keras dan cepat yang membuat bibirku tak berhenti mengeluarkan erangan dan lenguhan kenikmatan.
“Papa akan segera keluar, Yantiiii!”
“Yes! Keluarkan saja Pa! Yanti juga ingin merasakan peju Papa menyembur dalam memek Yanti, buat Yanti puas, Papa! Ayo Papa…. Oh Papa…. Yanti….juga… mau … nyampe! Papaaaaaaaaaa….” Aku teriak dan menjerit sekeras-kerasnya, tak perduli tetangga kost-kost-anku mendengarnya.
Papa Baron memberikan dua kali dorongan lagi ke dalam memekku yang basah, lalu batang kontolnya mengejat keras begitu menyemburkan sebuah ledakan.
”Yantiiiii ooh Yantiiii… Papa ….aaaaaaaaaaggggghht”
”Iya, Papaaaa… di dalam memek Yanti, papa, …. Ayo…. Sama-sama…. Yanti juga…. Papa…! Papa ooooh”, Sekali lagi aku berteriak sekeras-kerasnya. Bahkan terdengar seperti orang menjerit histeris.
Papa Baron akhirnya menggeram, keras dan dalam, saat dia memuntahkan sperma ke dalam memekku. Papa Baron menarik kontolnya keluar, kemudian melesakkannya masuk kembali dan menahannya beberapa saat, lalu mencabutnya lagi dan melesakkannya masuk kembali. Aku menjerit sekencang-kencangnya dan merapatkan memekku pada Papa Baron begitu orgasmeku sendiri mulai menggulungku.
Sekujur tubuh Papa Baron tergetar oleh birahi dan nafsu akibat orgasme yang melandanya dan aku memberikan beberapa kali hentakan demi hentakan yang keras dan dalam lagi sebelum akhirnya tubuh Papa Baron rubuh di atas tubuhku.
Kami berbaring dengan nafas masih memburu cepat, lengan dan kaki kami saling terkait, mata kami terbuka dan bibir kami saling melumat. Papa Baron berguling ke samping dan merengkuhku ke dalam pelukannya.
”Apa Papa capek?”, aku bertanya pada Papa Baron sambil mendekapnya.
”Istirahat dulu 10 menit ya,nak”
”Oke, Papa”
Waktu lalu berjalan normal kembali. Detik demi detik berlalu. Kontol Papa Baron tampak layu sebentar. Aku memandanginya dengan perasaan takjub. Aku pegang kontol Papa Baron. Aku elus-elus dengan belaian lembut.
”Papa…”, kataku perlahan
”Ada apa, Yanti?” Jawab Papa Baron
”Kontol Papa masih perkasa. Kontol Papa bikin Yanti pengen lagi”
”Kamu puas tadi….. sama Papa, Yanti?”
”Yanti sangat puas, Papa”
”Mau lagi?”
”Papa masih sanggup?”
Papa Baron tidak menjawab. Ia cuma tersenyum. Tanganku kini aktif mengocok-ngocok kontol Papa Baron. Lama-lama kontol itu tegak perkasa kembali.
”Masuk lagi ya, Pa…”
”Iya, Nak Yanti….”
”Posisi Yanti di atas ya, Papa”
Tanpa meminta persetujuan, aku kemudian bergerak menaiki tubuh Papa Baron yang terlentang. Kontolnya tegak berdiri perkasa bagai mercusuar. Posisi bersenggama di atas adalah posisi kesukaanku.
Aku lalu meraih kontol Papa Baron untuk aku masukkan ke dalam lobang memekku. Setelah seluruh kontol Papa Baron masuk, aku mulai begerak maju-mundur.
“Oh Papa…. Papa… Papa…”
“Iya Yanti….” Jawab Papa Baron.
“Papa”
”Iya…iya… Yanti…. Memek kamu nyedot-nyedot kontol Papa, sayang…”
”Ooh Papa… Papaaaa…. Yanti enak banget Papa”
Aku lalu berteriak sekerasnya. Orgasmeku mencapai puncak yang paling tinggi.
”Papaaaaaaaaaaaa…. Oohhhhh …. Papaaaaa….! Memek Yanti enak banget, Papa…! Kontol Papa bikin memek Yanti enak banget”
”Iya Yanti, Papa juga sudah sampe nih… Yanti….Oh…Oh…Oh…. Yantiiiiiiiiii ”
Akhirnya aku ambruk di dada Papa Baron. Aku lemas, Papa Baron pun demkian. Tapi kontol Papa Baron masih berada di dalam memekku. Peju kami bercampur jadi satu.
Gawat, kalau memang demikian, bisa-bisa aku jadi ”bunting” beneran nih….
Sebuah perasaan emosional berdengung dalam kepalaku dan sekejap aku menyadari kalau kini memiliki dua orang lelaki dalam hidupku. Benar atau salah, aku tahu kalau aku menginginkan keduanya, anak dan orang tua ini dalam hidupku, untuk mencintai dan menyayangi sepenuh hatiku…..
Sudah hampir sebulan sejak operasi usus buntu, Anton kini ia sudah sehat sama sekali. Tawa dan candanya sudah mengisi kembali hari-hari kehidupanku. Bahkan aku dan Anton pun sudah berkali-kali menumpahkan hasrat kami berdua, melampiaskan permainan sex kami yang panas dan membara. Hari-hari yang begitu indah mengisi kehidupanku.
Selepas kuliah sore hari, Anton mengantar pulang ke kost-kost-anku. Seperti biasa, kami masuk ke ruangan. Anton langsung menghidupkan laptopnya di ruangan tengah dan membuka internet, sementara aku bergegas ke dalam kamar untuk mengganti pakaianku dengan pakaian rumah yang santai.
Setelah berganti pakaian, aku lalu keluar kamar dan berjalan menuju dapur. Aku masih sempat melihat aktifitas Anton yang sedang membuka situs berisi gambar-gambar dan film porno.
Sesampainya di dapur, aku lalu mencuci piring di wastafel. Selang 15 menit kemudian akupun juga memberesi peralatan makan yang terletak di atas meja makan. Pada saat aku memberesi meja makan, tiba-tiba saja aku terkejut. Tubuhku didekap dengan erat dari arah belakang. Siapa lagi yang melakukan itu kalau bukan Anton tentunya. Rupanya selama aku mencuci piring, Anton terangsang dengan film dan gambar-gambar porno dari internet yang tadi dibukanya.
”Ooh Anton ….”
”Yantiiiii… kamu merangsang sekali, honey”
Tangan Anton langsung meremas ke dua tetekku dan menciumi tengkukku dari arah belakang. Aku menggelinjang, geli bercampur rasa birahi ikut memuncak.
Bibir Anton menciumi tengkukku lalu bergerak perlahan ke belakang telingaku dan membisikkan kata-kata lembut ; ”I love you, honey”
Dengan nafas tersengal, aku menjawab diiringi desah bercampur rintihan : ”I love you too, Anton”
Tangan Anton terus meremas-remas tetekku. Gerakannya makin menjadi-jadi. Aku semakin terbakar api birahi. Aku makin mendesah-desah. Pentil tetekku mengeras.
Tangan Anton lalu melolosi pakaianku. Pakaian itu langsung melorot ke lantai. Saat itu aku tidak memakai bra dan cd. Jadi ketika pakaianku terlepas, langsung saja tetek dan memekku terpampang jelas.
Anton lalu mendudukkan tubuhku yang sudah bugil di atas meja makan. Tangannya dengan trampil dan cekatan menyibak lubang memekku. Aku terduduk di atas pinggiran meja makan sambil mengangkangkan kakiku agar Anton dengan mudah mempermainkan dan menggarap memek dan itilku. Aku terduduk sambil mendesah-desah nikmat; ”Ooh Anton, memekku ….enak, honey..!”
Anton dengan lidahnya mulai menjilati memekku. Jilatannya sangat rakus dan buas. Tanganku mengusap-usap rambut kepalanya yang menelusup di antara selangkanganku.
Tatkala birahiku memuncak, tiba-tiba saja Anton menghentikan jilatannya di memekku. Aku heran dan berkata dengan merengek ; ”Please Honey, jangan berhentiiiiii….”
Aku sudah benar-benar tak tahan. Lebih dari 10 menit Anton memporak-porandakan memekku. Aku sudah begitu tinggi dilanda gejolak birahi yang tak tertahankan lagi. Akhirnya aku berkata kepada Anton kalo aku minta langsung dimasukin saja.
” Anton sayangku, aku sudah gak tahan lagi. Memekku sudah nagih minta dimasuki sama kontol kamu, sayang. Memekku sudah pengen banget minta digenjot, sayangku. Ayo dong Anton”
”Iya my Honey… Yes…” Anton lalu melepaskan seluruh pakaiannya dengan cepat. Dalam sekejap saja, tubuhnya sudah bugil. Kontolnya sudah ngaceng dan tegak perkasa bagai mercusuar.
Anton lalu naik ke atas meja makan, di mana aku sudah sejak tadi terlentang. Akhirnya aku dan Anton bergumul di atas meja makan.
Anton menindih badanku. Kontolnya lalu perlahan-lahan bergerak masuk ke dalam lobang memekku. Setelah masuk, kontol Anton secara konstan bergerak keluar masuk.
”Ayo Anton … ayo ….. ayo …Oooooh sayangku…. enak banget. Ayo terus…terus …. aku…. Ooooo”
”Yes…yes…yes…” Anton mengimbangi teriakanku.
”Ooh… enak bangeeeeet… terus Anton … terus…”
”Yesssss, Honeeeey”
Aku menggelepar-gelepar. Kontol Anton terus menerus menyodok memkku tanpa henti.
Kedua tanganku lalu meraih wajahnya. Aku tatap wajah Anton, aku pandangi dengan tatapan mata yang tajam, Anton memandangiku tak kalah tajamnya. Ia tatap mataku dan lalu bibirku dan bibirnya saling berciuman sangat panas sekali.
Kontol Anton terus menyodok-nyodok memekku. Aku makin menggelepar-gelepar. Sepertinya nafsuku sudah mencapai ujung. Mendaki puncak paling tertinggi. Akhirnya aku berteriak panjang dan sekeras-kerasnya, memecahkan seisi ruangan dapur itu, bahkan mungkin terdengar oleh tetangga-tetangga ku.
“Aaaaaarrrrggghhhh….!”
”Yesss Yanti….”
Tak lama, Anton dan akupun mencapai klimaks secara bersamaan. Kontol Ruudtje mengejat-ngejat, lalu menyemburkan paju di dalam lobang memekku. Begitupun juga aku. Cairan kewanitaanku di dalam memeku juga ikut muncrat, bercampur dengan peju Anton.
Sekilas dalam bathinku sempat terpikir ; ”Bagaimana kalau memang benar-benar peju kami yang bercampur itu menjadi janin seorang bayi di dalam rahimku?”…. Aaah… aku tak ingin berpikir terlalu jauh. Yang penting, itulah nikmatnya bersetubuh pada saat mau orgasme.
Anton ambruk di atas badanku. Tubuh kami sama-sama tergeletak bugil di atas meja makan.
Lima menit kemudian, Anton bangkit dari atas meja makan. Dan pada saat itu pula tiba-tiba handphonenya berdering di ruang depan dekat laptopnya yang masih menyala. Dengan telanjang bulat, Anton berjalan mengambil Hpnya.
Selama Anton bertelepon, aku bangkit dari meja makan. Aku memungut pakaianku yang tergeletak di lantai. Dan pada saat itu, Anton muncul kembali. Ia bilang dapat telepon dari dosen pembimbingnya untuk tugas kuliah. Ia bilang harus sampai di tempat dosennya dalam dua jam ke depan. Aku menjawab, oke saja. Toh aku tak bisa melarang Anton untuk melakukan aktifitasnya.
Setelah kami mandi bersama-sama, Anton sudah rapi berpakaian kembali. Ia membawa tas yang berisi laptop miliknya. Aku mengantar kepergian Anton sampai di depan pintu.
Kini aku sendiri lagi di dalam kost-kostanku. Aku melangkah letih menuju kamar tidurku. Waktu tengah menunjukkan pukul 8.10 malam. Aku berbaring di atas ranjang springbedku sambil membaca buku. Mungkin karena letih, akhirnya aku tertidur dengan buku yang tadi sempat kubaca baru beberapa halaman.
Mataku tiba-tiba terbuka. Aku mengucek-ngucek mataku karena aku mendengar suara bel apartemenku berbunyi terus menerus. Aku sempat melihat jam di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 10.05 malam. Aduuuh…. ternyata aku tanpa sadar sudah tertidur sekitar 2 jam di kamarku. Aku terbangun karena bel berbunyi terus-menerus.
Dengan langkah malas dan gontai, aku berjalan keluar kamar. Langkahku menuju ke ruang depan untuk membukakan pintu dan sekaligus ingin tahu siapa yang datang. Aku berpikir mungkin Anton yang datang kembali. Soalnya mungkin saja ia sudah selesai bertemu dengan dosen pembimbingnya, lalu kembali datang ke sini untuk menginap.
Pintu kubuka. Aku sedikit terkejut, karena di hadapanku ternyata sudah berdiri Papa Baron, Papanya Anton.
”Oh Papa”, kataku sedikit kaget.
Papa Baron tersenyum sambil mengangkat tangannya ke atas dan memperlihatkan bungkusan yang berisi makanan.
”Kamu pasti sangat lapar kan?”, kata Papa Baron.
”Kok Papa tau?”
”Iyalah… sejam yang lalu Anton menelpon Papa. Dia minta tolong supaya Papa belikan kamu makanan. Kata Anton kamu pasti kelaparan dan belum makan”
”Iya, Papa… terima kasih….”
Aku lalu mempersilakan Papa Baron masuk ke dalam. Ia duduk di sofa, sementara aku menerima bungkusan yang berisi makanan fastfood, 2 buah burger berukuran big.
”Sorry, Papa tadinya mau belikan kamu Chinesse Food, tapi restorannya sudah tutup. Malam-malam gini restoran banyak yang sudah tutup. Akhirnya Papa beli makanan yang cepat aja”
”Makasih Papa… Papa baik sekali”
Aku melahap burger yang dibelikan oleh calon Papa Mertuaku.
” Anton bilang, dia masih bertemu dengan dosen pembimbingnya. Mungkin gak bisa datang ke sini lagi, katanya. Dan Papa disuruhnya membelikan makanan karena katanya dia yakin kamu pasti belum makan malam”
”Makasih Papa”, aku menjawab sambil mengunyah burger. Dan dalam sekejap saja, burger pertama langsung habis kusantap yang memang pada kenyataannya aku memang sungguh lapar.
Setelah aku menghabiskan burger pertama, Papa Baron bangkit dari duduknya. Ia tersenyum dan berkata ; ” Yanti Papa kangen sama permainanmu, nak”
”Ah… Papa?”, Aku tersemun bangga.
”Papa mau tanya sama Yanti, Yanti kangen ngga?”
Aku langsung meraih tangannya untuk mendekap tubuhku. ”Iya dong Papa… Please… jangan pergi. Papa… nginep sini ya, Pleaseeee….!”, kataku memohon.
Papa Baron akhirnya melingkarkan tangannya dan meumat bibirku.
”Papa?”
” ya kenapa?”, Jawab Papa Baron memandangku.
”Ah nggak…. Yanti cuma….cuma mau…”
”Mau apa, Nak?”
“Mau minta tolong Papa”
“Tolong apa?”
“Tolong gendongin Yanti ke kamar. Papa”
Papa Baron meraih tubuhku, dan membobongku berjalan ke kamar. Aku merangkul leher Papa Baron tanpa sungkan lagi.
Papa Baron membaringkan tubuhku di atas tempat tidurku. Setelah itu pembaca tentu sudah tahu apa yang terjadi, tubuhku dan tubuh Papa Baron saling bergumul -sama di atas springbed. Tubuhku menindih tubuh Papa Baron. Lalu tubuh Papa Baron menindih tubuhku. Rasanya aku menginginkan sesuatu yang lebih dari Papa Baron.
”Papa, Yanti boleh minta tolong lagi, Papa?”
”Tolong apa lagi, Nak Yanti?”, jawab Papa Baron dengan nafas yang mulai terasa tidak teratur.
”Hmm… Yanti…. Yanti… pengen kita ngga usah berpakaian lagi, boleh?”
”Hmm… siapa takut….”
Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, tanganku melepas pakaian Papa Baron dan sebaliknya pakaianku dilucutinya sampai kita sama-sama bugil.
Aku menggumuli tubuh bugil Papa Baron. Aku tindih dia, aku kangkangi dia. Kontolnya yang tegak berdiri aku masukkan ke dalam lobang memekku.
“Ooooooh… Papaaaaa…. Kontol Papa ternyata enak banget…”
Dengan irama yang konstan aku memaju-mundurkan pantatku. Aku seperti menaiki kuda jantan yang liar. Kontol Papa Baron yang mengacung tegak aku nikmati di dalam memekku.. Aku keluar-masukkan kontolnya ke dalam lobang memekku. Kontol Papa Baron ambles ke dalam lobang nonokku.
”Oooooh Papaaaa….. yyyyeeeee….aaahh….”
Aku semakin lebih cepat mengerakkan pantatku maju mundur….
Seperti biasa, aku mulai berteriak-teriak.
“Papaaaaa. Aahhh….. oooohhh Papaaaaaaa…. enak banget…. memek Yanti penuh…! Papaaaaaaa oooh Papaaaaaa… kontol Papa enaaaaak…”
Aku terkejut. Tiba-tiba saja, Papa Baron menggerakkan badannya ke atas, lalu mendorong tubuhku sampai nyaris terjengkang ke belakang. Aku jatuh terlentang ke belakang. Papa Baron bangkit, lalu ia bergerak untuk menindih tubuhku.
”Yantiiii…. ….Ayo kita tuntaskan….”
”Iya Papa…. ayo kita tuntaskaaaaaan…”
Papa Baron lalu memasukkan kontolnya ke dalam lobang memekku. Posisiku sekarang berada di bawah. Papa Baron menggenjot memekku dari atas.
”Oooh Papaaaaa. …..! Ayo Papa ….”
”Iya Yanti…. kamu…. Aaahhh…”
Kontol Papa Baron tambah lama tambah cepat gerakannya. Birahiku memuncak. Aku teriak-teriak histeris di dalam kamar tidurku.
” terus Papa…. Yanti…. Memek Yanti …. terus Papa….! Oooooh …. enaaaaaak… Papaaaaaaa”
”Papa juga enak Yanti… Memek kamu enaknya luar biasa, Nak Yanti…!”
”Ayo Papa…. ya, Papa….”
”Iya Yanti…”
”Iya… Papaaaaaa…. Ayo teros …sodok memek Yanti Papaaaaa….. Ayo kita bikin kepuasan. Oooooooooooh….
”Yanttttttiiiiiiiiii…Papa mau ngecrotttt….”
”Iya Papa… ayo dong ngecrot di dalam memek Yanti. Yanti juga udah mau sampe nih, Papa”
Akhirnya kami pun samapai juga pada klimaksnya. Aku teriak sekencang2nya.
Akhirnya selesailah pergamulan kami.
Tubuh Papa Baron berguling ke sisi tubuhku. Aku benar2-lemas.Begitu juga dengan Papa Baron.
Dalam hati sempat aku berpikir, hari ini aku menerima muncratan peju ke dalam lobang memekku dari dua orang laki-laki berbeda. Laki-laki pertama bernama Anton dan yang kedua bernama Baron … dua orang laki-laki yang telah menebarkan pejunya dalam rahimku. Aku berpikir, bagaimana jika peju2 tersebut bercampur dengan indung telurku. Pastinya akan jadilah janin bayi di dalam rahimku.
Aaah aku ternyata begidik juga membayangkannya….! Tapi mudah-mudahan tidak terjadi. Soalnya aku rajin mengkonsumsi obat anti kehamilan……
TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar