Tokoh Utama :
- Miranti Pujiastuti 40 tahun (wanita paruh baya yang masih seksi)
- Edo Prasetya (25 tahun) (perjaka)
Tokoh Figuran :
- Herman, Rani, Dokter Felix, Basuki Hermawan, Simbok
Dalam sebuah
seminar sehari di hall Hotel Hilton International di Jakarta, tampak seorang
wanita paruh baya berwajah manis sedang membacakan sebuah makalah tentang
peranan wanita modern dalam kehidupan rumah tangga keluarga bekerja. Dengan
tenang ia membaca makalah itu sambil sesekali membuat lelucon yang tak ayal
membuat para peserta seminar itu tersenyum riuh. Permasalahan yang sedang
dibahas dalam seminar itu menyangkut perihal mengatasi problem perselingkuhan
para suami yang selama ini memang menjadi topik hangat baik di forum resmi
ataupun tidak resmi. Beberapa peserta seminar yang terdiri dari wanita karir,
ibu-ibu rumah tangga dan para pelajar wanita itu tampak serius mengikuti
jalannya seminar yang diwarnai oleh perdebatan antara pakar sosiologi keluarga
yang sengaja diundang untuk menjadi pembicara. Hadir juga beberapa orang
wartawan yang meliput jalannya seminar sambil ikut sesekali mengajukan
pertanyaan ke arah peserta dan pembicara. Suasana riuh saat wanita pembicara
itu bercerita tentang seorang temannya yang bersuamikan seorang pria mata
keranjang doyan main perempuan. Berbagai pendapat keluar dalam perdebatan yang
diarahkan oleh moderator.
Diakhir sesi
pertama saat para peserta mengambil waktu istirahat selama tiga puluh menit,
tampak wanita pembicara itu keluar ruangan dengan langkah cepat seperti menahan
sesuatu. Ia berjalan dengan cepat menuju toilet di samping hall tempat seminar.
Namun saat melewati lorong menuju tempat itu ia tak sadar menabrak seseorang,
akibatnya ia langsung terhenyak.
“Oh…, maaf,
saya tidak melihat anda…, maaf ya?”, seru wanita itu pada orang yang
ditabraknya, namun orang itu seperti tak mengacuhkan.
“Oke…”,
sahut pria muda berdasi itu lembut dan berlalu masuk ke dalam toilet pria.
Wanita
itupun bergegas ke arah toilet wanita yang pintunya berdampingan dengan pintu
toilet pria. Beberapa saat lamanya wanita itu di sana lalu tampak lelaki itu
keluar dari toilet dan langsung menuju ke depan cermin besar dan mencuci
tangannya. Kemudian wanita tadi muncul dan menuju ke tempat yang sama, keduanya
sesaat saling melirik.
“Hai”, tegur
pria itu kini mendahului.
“Halo…, anda
peserta seminar?”, tanya si wanita.
“Oh, bukan.
Saya bekerja di sini, maksud saya di hotel ini”, jawab pria itu.
“Oh…, kalau
begitu kebetulan, saya rasa setelah seminar ini saya akan kontak lagi dengan
manajemen hotel ini untuk mengundang sejumlah pakar dari Amerika untuk seminar
masalah kesehatan ibu dan anak. Ini kartu namaku”, kata wanita itu sambil mengulurkan
tangannya pada pria itu. Lelaki itu mengambil secarik kartu dari dompetnya dan
menyerahkannya pada wanita itu.
“Dokter Miranti Pujiastuti, oh ternyata Ibu
ini pakar ilmu kedokteran ibu dan anak yang terkenal itu, maaf saya baru
pertama kali melihat Ibu. Sebenarnya saya banyak membaca tulisan-tulisan Ibu
yang kontroversial itu, saya sangat mengagumi Ibu”, mendadak pria itu menjadi
sangat hormat.
“Ah kamu,
jangan terlalu berlebihan memuji aku, dan kamu…, hmm…, Edo Prasetya, wakil
General Manager Hilton International Jakarta. Kamu juga hebat, manajer muda”,
seru wanita itu sambil menjabat tangan pemuda bernama Edo itu kemudian.
“Kalau
begitu saya akan kontak anda mengenai masalah akomodasi dan acara seminar yang
akan datang, senang bertemu anda, Edo”, seru wanita itu sambil kemudian
berlalu.
“Baik, Bu
dokter”, jawab sahut pria itu dan membiarkan wanita paruh baya itu berlalu dari
ruangan di mana mereka berbicara.
Sejenak
kemudian pemuda itu masih tampak memandangi kartu nama dokter wanita itu, ia seperti
sedang mengamati sesuatu yang aneh.
“Bukankah
dokter itu cantik sekali?”, ia berkata dalam hati.
“Oh aku
benar-benar tak tahu kalau ia dokter yang sering menjadi perhatian publik,
begitu tampak cantik di mataku, meski sudah separuh baya, ia masih tampak
cantik”, benaknya berbicara sendiri.
“Ah kenapa
itu yang aku pikirkan?”, serunya kemudian sambil berlalu dari ruangan itu.
Sementara
itu di sebuah rumah kawasan elit Menteng Jakarta pusat tampak sebuah mobil
memasuki halaman luas rumah itu. Wanita paruh baya bernama dokter Miranti itu
turun dari sedan Mercy hitam dan langsung memasuki rumahnya. Wajah manis wanita
paruh baya itu tampaknya menyimpan sebuah rasa kesal dalam hati. Sudah seminggu
lamanya suami wanita itu belum pulang dari perjalanan bisnis keluar negeri.
Sudah seminggu pula ia didera isu dari rekan sejawat suaminya tentang tingkah
laku para pejabat dan pengusaha kalangan atas yang selalu memanfaatkan alasan
perjalanan bisnis untuk mencari kepuasan seksual di luar rumah alias
perselingkuhan.
Wanita itu
menghempaskan badannya ke tempat tidur empuk dalam ruangan luas itu. Ditekannya
remote TV dan melihat program berita malam yang sedang dibacakan penyiar. Namun
tak berselang lama setelah itu dilihatnya di TV itu seorang lelaki botak yang
tak lain adalah suaminya sedang berada dalam sebuah pertemuan resmi antar
pengusaha di Singapura. Namun yang membuat hati wanita itu panas adalah saat
melihat suaminya merangkul seorang delegasi dagang Singapura yang masih muda
dan cantik. Sejenak ia memandang tajam ke arah televisi besar itu lalu dengan
gemas ia membanting remote TV itu ke lantai setelah mematikan TV-nya.
“Ternyata
apa yang digosipkan orang tentang suamiku benar terjadi, huh”, seru wanita itu
dengan hati dongkol.
“Bangsaat..!
“, Teriaknya kemudian sambil meraih sebuah bantal guling dan menutupi mukanya.
Tak
seorangpun mendengar teriakan itu karena rumah besar itu dilengkapi peredam
suara pada dindingnya, sehingga empat orang pembantu di rumah itu sama sekali
tidak mengetahui kalau sang nyonya mereka sedang marah dan kesal. Ia menangis
sejadi-jadinya, bayang-bayang suaminya yang berkencan dengan wanita muda dan
cantik itu terus menghantui pikirannya. Hatinya semakin panas sampai ia tak
sanggup menahan air matanya yang kini menetes di pipi.
Tiga puluh
menit ia menangis sejadi-jadinya, dipeluknya bantal guling itu dengan penuh
rasa kesal sampai kemudian ia jatuh tertidur akibat kelelahan. Namun tak
seberapa lama ia terkulai tiba-tiba ia terhenyak dan kembali menangis. Rupanya
bayangan itu benar-benar merasuki pikirannya hingga dalam tidurnyapun ia masih
membayangkan hal itu. Sejenak ia kemudian berdiri dan melangkah keluar kamar
tidur itu menuju sebuah ruangan kecil di samping kamar tidurnya, ia menyalakan
lampu dan langsung menuju tumpukan obat yang memenuhi sebagian ruangan yang
mirip apotik keluarga. Disambarnya tas dokter yang ada di situ lalu membuka
sebuah bungkusan pil penenang yang biasa diberikannya pada pasien yang panik.
Ditelannya pil itu lalu meminum segelas air.
Beberapa
saat kemudian ia menjadi tenang kemudian ia menuju ke ruangan kerjanya yang
tampak begitu lengkap. Di sana ia membuka beberapa buku, namun bebarapa lamanya
kemudian wanita itu kembali beranjak menuju kamar tidurnya. Wajahnya kini
kembali cerah, seberkas senyuman terlihat dari bibirnya yang sensual. Ia duduk
di depan meja rias dengan cermin besar, hatinya terus berbicara.
“Masa sih
aku harus mengalah terus, kalau Herman itu bisa berselingkuh kenapa aku tidak”, benaknya sambil
menatap dirinya sendiri di cermin itu. Satu-persatu di lepasnya kancing baju
kerja yang sedari tadi belum dilepasnya itu, ia tersenyum melihat keindahan
tubuhnya sendiri. Bagian atas tubuhnya yang dilapisi baju dalam putih berenda
itu memang tampak sangat mempesona, dadanya kencang, perutnya
langsing, pinggulya dihiasi bokong yang padat, tubuh seperti gitar spanyol. Meski umurnya kini sudah mencapai
empat puluh tahun, namun tubuh itu jelas akan membuat lelaki tergiur untuk
menyentuhnya.
Kini ia
mulai melepaskan baju dalam itu hingga bagian atas tubuhnya kini terbuka,
dadanya putih menonjol membuntuk bola yang masih dilapisi BH. Perlahan ia berdiri dan
memutar seperti memamerkan tubuhnya yang bahenol itu. Perlahan
BH-nya dilepas tampaklah buah dadanya yang besar dan tampak menantang itu diremasnya sendiri sambil
mendongak membayangkan dirinya sedang bercinta dengan seorang lelaki. Kulitnya
yang putih mulus dan bersih itu tampak tak kalah mempesonakan.
Perutnya yang putih dielusnya sendiri, tangannya melepaskan celana dalamnya
sehingga tampaklah vagina yang dihiasi rambut keriting. Miranti mengambil
sesuatu dan dioleskan diatas vaginanya. Lalu Miranti mencukur habis
rambut jembutnya, hingga vagina Miranti bersih dan menggemaskan seperti vagina
anak SMA saja. Merah muda sangat merangsang.
“Kalau Herman itu bisa mendapat wanita muda belia,
kurasa tubuh dan wajahku lebih dari cukup untuk memikat lelaki muda”, gumamnya
lagi.
“Akan
kumulai sekarang juga, tapi..”, tiba-tiba pikirannya terhenti.
“Selama ini
aku tak pernah mengenal dunia itu, siapakah yang akan kucari? hmm..”.
Tangannya
meraih tas kerja di atas mejanya, dibongkarnya isi tas itu dan menemukan
beberapa kartu nama, sejenak ia memperhatikannya.
“Dokter
Felix, lelaki ini doyan nyeleweng tapi apa aku bisa meraih kepuasan darinya?
Lelaki itu lebih tua dariku”, katanya dalam hati sambil menyisihkan kartu nama
rekan dokternya itu.
“Basuki
Hermawan, ah…, pejabat pajak yang korup, aku jijik pada orang seperti ini”, ia
merobek kartu nama itu.
“Oh ya…,
pemuda itu, yah…, pemuda itu, siapakah namanya, Dodi?.., oh bukan. Doni?.., oh
bukan juga, ah di mana sih aku taruh kartu namanya..”, ia sibuk mencari,
sampai-sampai semua isi tak kerja itu dikeluarkannya namun belum juga ia
temukan.
“Sial! Aku lupa di mana menaruhnya”,
sejenak ia berhenti mencari dan berpikir keras untuk mencoba mengingat di mana
kartu nama pemuda gagah berumur dua puluh limaan itu. Ia begitu menyukai wajah
pemuda yang tampak polos dan cerdas itu. Ia sudah terbayang betapa bahagianya
jika pemuda itu mau diajak berselingkuh.
“Ahaa! Ketemu juga kau!”, katanya setengah
berteriak saat melihat kartu nama dengan logo Hilton International. Ia beranjak
berdiri dan meraih hand phone, sejenak kemudian ia sudah tampak berbicara.
“Halo,
dengan Edo…, maaf Bapak Edo?”.
“Ya benar,
saya Edo tapi bukan Bapak Edo, anda siapa”, terdengar suara ramah di seberang.
“Ah maaf…,
Edo , saya Dokter Miranti, kamu masih ingat? Kita ketemu di Rest Room hotel
Hilton International tadi siang”.
“Oooh, Bu
dokter, tentu dong saya ingat. Masa sih saya lupa sama Bu dokter idola saya
yang cantik”.
“Eh kamu
bisa saja, Do”.
“Gimana Bu,
ada yang bisa saya bantu?”, tanya Edo beberapa saat setelah itu.
“Aku ingin
membicarakan tentang seminar minggu depan untuk mempersiapkan akomodasinya,
untuk itu sepertinya kita perlu berbicara”.
“No problem,
Bu. Kapan ibu ada waktu”.
“Lho kok
jadi nanya aku, ya kapan kamu luang aja dong”.
“Nggak
apa-apa Bu, untuk orang seperti ibu saya selalu siap, gimana kalau besok kita
makan siang bersama”.
“Hmm…,
rasanya aku besok ada operasi di rumah sakit. Gimana kalau sekarang saja, kita
makan malam”.
“Wah
kebetulan Bu, saya memang lagi lapar. baiklah kalau begitu, saya jemput ibu”.
“Oohh nggak
usah, biar saya saja yang jemput kamu, kamu di mana?”.
“wah jadi
ngerepotin dong, tapi oke-lah. Saya tunggu saja di Resto Hilton, okay?”.
“Baik kalau
begitu dalam sepuluh menit saya datang”, kata wanita itu mengakhiri
percakapannya.
Lalu dengan
tergesa-gesa ia mengganti pakaian yang dikenakannya dengan gaun terusan dengan
belahan di tengah dada. Dengan gesit ia merias wajah dan tubuh yang masih
tampak menawan itu hingga tak seberapa lama kemudian ia sudah tampak anggun.
“Mbok..!”,
ia berteriak memanggil pembantu.
“Dalem…,
Nyaah!”, sahut seorang yang tiba-tiba muncul dari arah dapur.
“Malam ini
ibu ndak makan di rumah, nanti kalau tuan nelpon bilang saja ibu ada operasi di
rumah sakit”.
“Baik,
Nyah..”, sahut pembantunya mengangguk.
Sang dokter
itupun berlalu meninggalkan rumahnya tanpa diantar oleh sopir.
Kini sang
dokter telah tampak menyantap hidangan makan malam itu bersama pemuda tampan
bernama Edo yang berumur jauh di bawahnya. Maksud wanita itu untuk mengencani
Edo tidak dikatakannya langsung. Mereka mula-mula hanya membicarakan perihal
kontrak kerja antara kantor sang dokter dan hotel tempat Edo bekerja. Namun hal
itu tidak berlangsung lama, dua puluh menit kemudian mereka telah mengalihkan
pembicaraan ke arah pribadi.
“Maaf lho, Do. Kamu sudah punya pacar?”, tanya
sang dokter.
“Dulu pernah
punya tapi…”, Edo tak melanjutkan kalimatnya.
“Tapi
kenapa, Do?”, sergah wanita itu.
“Dia kawin
duluan, ah…, Emang bukan nasib saya deh, dia kawin sama seorang om-om senang
yang cuma menyenangi tubuhnya. Namanya Rani..”.
“Maaf kalau
ibu sampai membuat kamu ingat sama masa lalu”.
“Nggak
apa-apa kok, Bu. Toh saya sudah lupa sama dia, buat apa cari pacar atau istri
yang mata duitan”.
“Sukurlah
kalau begitu, trus sekarang gimana perasaan kamu”.
“Maksud
ibu?”.
“Perasaan
kamu yang dikhianati, apa kamu masih dendam?”, tanya sang dokter seperti merasa
ingin tahu.
“Sama si
Rani sih nggak marah lagi, tapi sampai sekarang saya masih dendam kesumat sama
om-om atau pejabat pemerintah yang seperti itu”, jelas Edo pada wanita itu
sembari menatapnya.
Sejenak
keduanya bertemu pandang, Edo merasakan sebuah perasaan aneh mendesir dadanya.
Hanya beberapa detik saja keduanya saling memandang sampai Edo tersadar siapa
yang sedang dihadapinya.
“Ah, ma..,
ma.., maaf, Bu. Bicara saya jadi ngawur”, kata pemuda itu terpatah-patah. “Oh
nggak…, nggak apa-apa kok, Do. Aku juga punya problem yang serupa dengan kamu”,
jawab wanita itu sambil kemudian mulai menceritakan masalah pribadi dalam
keluarganya. Ia yang kini sudah memiliki dua anak yang bersekolah di Amerika
itu sedang mengalami masalah yang cukup berat dalam rumah tangganya. Dengan
penuh emosi ia menceritakan masalahnya dengan suaminya yang seorang pejabat
pemerintah sekaligus pengusaha terkenal itu.
“Berkali-kali
aku mendengar cerita tentang kebejatan moralnya, ia pernah menghamili
sekertarisnya di kantor, lalu wanita itu ia pecat begitu saja dan membayar
seorang satpam untuk mengawini gadis itu guna menutupi aibnya. Dasar lelaki buaya”, ceritanya pada Edo.
“Sekarang
dia sudah berhubungan lagi dengan seorang wanita pengusaha di luar negeri. Baru
tadi aku melihatnya bersama dalam sebuah berita di TV”, lanjut wanita itu
dengan raut muka yang sedih.
“Sabar, Bu.
Mungkin suatu saat dia akan sadar. Masa sih dia nggak sadar kalau memiliki
istri secantik ibu”, ujar Edo mencoba menghiburnya.
“Aku sudah
bosan bersabar terus, hatiku hancur, Do. Kamu sudah tahu kan gimana rasanya
dikhianati? Dibohongi?”, sengitnya sambil menatap pemuda itu dengan tatapan
aneh. Wanita itu seperti ingin mengatakan sesuatu pada Edo.
Beberapa
menit keadaan menjadi vacum. Mereka saling menatap penuh misteri. Dada Edo
mendesir mendapat tatapan seperti itu, pikirannya bertanya-tanya.
“Ada apa
ini?”, gumamnya dalam hati. Namun belum sempat ia menerka apa arti tatapan itu,
tangannya tiba-tiba merasakan sesuatu yang lembut menyentuh, ia terhenyak dalam
hati. Desiran dadanya kini berubah menjadi getaran keras di jantungnya. Namun
belum sempat ia bereaksi atas semua itu tangan sang dokter itu telah meremas
telapak tangan Edo dengan mesra. Kini ia menatap wanita itu, dokter Miranti
memberinya senyuman, masih misteri.
“Edo…., kamu dan aku memiliki masalah yang
saling berkaitan”, katanya perlahan.
“Ma…, maksud
ibu?”, Edo tergagap.
“Kehidupan
cinta kamu dirusakkan oleh generasi seumurku, dan rumah tanggaku rusak oleh
kehidupan bejat suamiku. Kita sama-sama memiliki beban ingatan yang menyakitkan
dengan musuh yang sama”.
“lalu?”.
“Kenapa tak
kamu lampiaskan dendam itu padaku?”.
“Maksud
ibu?”, Edo semakin tak mengerti.
“Aku dendam
pada suamiku dan kaum mereka, dan kau punya dendam pada para pejabat yang telah
mengecewakanmu. Kini kau menemukan aku, lampiaskan itu. Kalau mereka bisa
menggauli generasimu mengapa kamu nggak menggauli kaum mereka? Aku istri
pejabat, dan aku juga dikecewakan oleh mereka”.
“Saya masih
belum mengerti, Bu”.
“Maksudku,
hmm…, kenapa kita tidak menjalin hubungan yang lebih dekat lagi”, jelas wanita
itu.
Edo semakin
penasaran, ia memberanikan dirinya bertanya,
“Maksud
ibu…, mm…, ki…, ki…, kita berselingkuh? “, ia berkata sambil memberanikan
dirinya menatap wanita paruh baya itu.
“Yah…, kita
menjalin hubungan cinta”, jawab dokter Miranti enteng.
“Tapi ibu
wanita bersuami, ibu punya keluarga”.
“Ya…, tapi
sudah hancur, tak ada harapan lagi. Kalau suamiku bisa mencicipi gadis muda,
kenapa aku tidak bisa?”, lanjutnya semakin berani, ia bahkan merangkul pundak
pemuda itu. Edo hanya terpaku.
“Ta…, tapi,
Bu…”.
“Seumur
perkawinanku, aku hanya merasakan derita, Do. Aku ingin kejantanan sejati dari
seorang pria. Dan pria itu adalah kamu, Do”, lalu ia beranjak dari tempat
duduknya mendekati Edo. Dengan mesra diberinya pemuda itu sebuah kecupan. Edo
masih tak bereaksi, ia seperti tak mempercayai kejadian itu.
“Apakah saya
mimpi?”, katanya konyol.
“Tidak, Do.
Kamu nggak mimpi, ini aku, Dokter Miranti yang kamu kagumi”.
“Tapi, Bu..,
ibu sudah bersuami”.
“Tolong
jangan katakan itu lagi Edo “.
Kemudian
keduanya terpaku lama, sesekali saling menatap. Pikiran Edo berkecamuk keras,
ia tak tahu harus berkata apa lagi. Sebenarnya ia begitu gembira, tak pernah ia
bermimpi apapun. Namun ia masih merasa ragu.
“Apakah
segampang ini?”, gumamnya dalam hati.
“Cantik
sekali dokter ini, biarpun umurnya jauh lebih tua dariku tapi oh tubuh dan
wajahnya begitu menggiurkan, sudah lama aku memimpikan bercinta dengan wanita
istri pejabat seperti dia. Tapi…”, hatinya bertanya-tanya. Sementara suasana
vacum itu berlangsung begitu lama. Kini mereka duduk dalam posisi saling
bersentuhan. Baru sekitar tiga puluh menit kemudian dokter Miranti tiba-tiba
berdiri.
“Do, saya ingin ngobrol lebih banyak lagi,
tapi nggak di sini, kamu temui saya di Hotel Hyatt. Saya akan memesan kamar di
situ. Selamat malam”, serunya kemudian berlalu meninggalkan Edo yang masih
terpaku.
Pemuda itu
masih terlihat melamun sampai seorang pelayan restoran datang menyapanya.
“Pak Edo,
bapak mau pesan lagi?”.
“Eh…, oh
nggak…, nggak, aduh saya kok ngelamun”, jawabnya tergagap mengetahui dirinya
hanya terduduk sendiri.
“Teman Bapak
sudah tiga puluh menit yang lalu pergi dari sini”, kata pelayan itu.
“Oh ya?”,
sahut Edo seperti orang bodoh. Pelayan itu mengangkat bahunya sambil berlalu.
“Eh…,
billnya!”, panggil Edo.
“Sudah
dibayar oleh teman Bapak”, jawab pelayan itu singkat.
Kini Edo
semakin bingung, ia masih merasakan getaran di dadanya. Antara percaya dan
tidak. Ia kemudian melangkah ke lift dan turun ke tempat parkir. Hanya satu
kalimat dokter Miranti yang kini masih terngiang di telinganya. Hotel Grand
Hyatt!
Dengan
tergesa-gesa ia menuju ke arah mobilnya. Perjalanan ke hotel yang dimaksud
wanita itu tak terasa olehnya, kini ia sudah sampai di depan pintu kamar yang
ditanyakannya pada receptionis. Dengan gemetar ia menekan bel di pintu kamar
itu, pikirannya masih berkecamuk bingung.
“Masuk, Do”, sambut dokter Miranti membuka
pintu kamarnya. Edo masuk dan langsung menatap dokter Miranti yang kini telah
mengenakan gaun tidur sutra yang tipis dan transparan. Ia masih tampak terpaku.
“Do, ini
memang hari pertemuan kita yang pertama tapi apakah salahnya kalau kita sama-sama
saling membutuhkan” , kata dokter Miranti membuka pembicaraan.
“Cobalah
realistis, Do. Kamu juga menginginkan ini kan ?”, lanjut wanita itu kemudian
mendudukkan Edo di pinggir tempat tidur luas itu.
Edo masih
tampak bingung sampai sang dokter memberinya kecupan di bibirnya, ia merasakan
seperti ada dorongan untuk membalasnya.
“Oh…, Bu”,
desahnya sambil kemudian merangkul tubuh bongsor dokter Miranti. Dadanya masih
bergetar saat merasakan kemesraan wanita itu. Dokter Miranti kemudian memegang
pundaknya dan melucuti pakaian pemuda itu. Dengan perlahan Edo juga
memberanikan diri melepas ikatan tali gaun tidur sutra yang dikenakan sang
dokter. Begitu tampak buah dada dokter Miranti yang besar dan ranum itu, Edo
terhenyak.
“Oh…,
indahnya susu wanita ini”, gumamnya dalam hati sambil lalu meraba payudara
besar yang masih dilapisi BH itu. Tangan kirinya berusaha melepaskan kancing BH
di punggung dokter Miranti. Ia semakin terbelalak saat melihat bentuk buah dada
yang kini telah tak berlapis lagi. Tanpa menunggu lagi nafsu pemuda itu bangkit
dan ia segera meraih buah dada itu dan langsung mengecupnya. Dirasakannya
kelembutan susu wanita cantik paruh baya itu dengan penuh perasaan, ia kini
mulai menyedot puting susu itu bergiliran.
“Ooohh…, Edo…, nikmat sayang…., mm sedot terus
sayang ooohh, ibu sayang kamu, Do…, ooohh”, desah dokter Miranti yang kini
mendongak merasakan sentuhan lidah dan mulut Edo yang menggilir kedua puting
susunya. Tangan wanita itupun mulai meraih batang kemaluan Edo yang sudah
tegang sedari tadi, ia terhenyak merasakan besar dan panjangnya penis pemuda
itu.
“Ohh…,
besarnya punya kamu, Do. Tangan ibu sampai nggak cukup menggenggamnya” , seru
dokter Miranti kegirangan. Ia kemudian mengocok-ngocokkan penis itu dengan
tangannya sambil menikmati belaian lidah Edo di sekitar payudara dan lehernya.
Kemaluan Edo
yang besar dan panjang itu kini tegak berdiri bagai roket yang siap meluncur ke
angkasa. Pemuda yang sebelumnya belum pernah melakukan hubungan seks itu
semakin terhenyak mendapat sentuhan lembut pada penisnya yang kini tegang. Ia
asyik sekali mengecupi sekujur tubuh wanita itu, Edo merasakan sesuatu yang
sangat ia dambakan selama ini. Ia tak pernah membayangkan akan dapat menikmati
hubungan seks dengan wanita yang sangat ia kagumi ini, ia yang sebelumnya
bahkan hanya menonton film biru itu kini mempraktekkan semua yang ia lihat di
dalamnya. Hatinya begitu gembira, sentuhan-sentuhan lembut dari tangan halus
dokter Miranti membuatnya semakin terlena.
Dengan mesra
sekali wanita itu menuntun Edo untuk menikmati sekujur tubuhnya yang putih
mulus itu. Dituntunnya tangan pemuda itu untuk membelai lembut buah dadanya,
lalu bergerak ke bawah menuju perutnya dan berakhir di permukaan kemaluan
wanita itu. Edo merasakan sesuatu yang lembut dan tak berbulu dengan belahan di tengahnya.
Pemuda itu membelainya lembut sampai kemudian ia merasakan cairan licin
membasahi permukaan kemaluan dokter Miranti. Ia menghentikan gerakannya
sejenak, lalu dengan perlahan sang dokter membaringkan tubuhnya dan membuka pahanya
lebar hingga daerah kemaluan yang basah itu terlihat seperti menantang Edo.
Pemuda itu terbelalak sejenak sebelum kemudian bergerak menciumi daerah itu,
jari tangan dokter Miranti kemudian menarik bibir kemaluannya menjadi semakin
terbuka hingga menampakkan semua isi dalam dinding vaginanya. Edo semakin
terangsang, dijilatinya semua yang dilihat di situ, sebuah benda sebesar biji
kacang di antara dinding vagina itu ia sedot masuk ke dalam mulutnya. Hal itu
membuat dokter Miranti menarik nafas panjang merasakan nikmat yang begitu
hebat.
“Ohh…, hmm…, Edo, sayang, ooohh”, desahnya
mengiringi bunyi ciplakan bibir Edo yang bermain di permukaan vaginanya.
Dengan gemas
Edo menjilati kemaluan itu, sementara dokter Miranti hanya bisa menjerit kecil
menahan nikmat belaian lidah Edo. Ia hanya bisa meremas-remas sendiri
payudaranya yang besar itu sambil sesekali menarik kecil rambut Edo.
“Aduuuh
sayang, ooohh nikmaat…, sayang…, oooh Edo…, ooohh pintarnya kamu sayang…, ooohh
nikmatnya… , ooohh sedooot teruuusss… , ooohh enaakkk…, hmm…, ooohh”, jeritnya
terpatah-patah.
Puas
menikmati vagina itu, Edo kembali ke atas mengarahkan bibirnya kembali ke
puting susu dokter Miranti. Sang dokterpun pasrah saja, ia membiarkan dirinya
menikmati permainan Edo yang semakin buas saja. Daerah sekitar puting susunya
tampak sudah kemerahan akibat sedotan mulut Edo.
“ooohh, Edo
sayang. Berikan penis kamu sama ibu sayang, ibu ingin mencicipinya” , pinta
wanita itu sambil beranjak bangun dan menggenggam kemaluan Edo. Tangannya
tampak bahkan tak cukup untuk menggenggamnya, ukurannya yang super besar dan
panjang membuat dokter Miranti seperti tak percaya pada apa yang dilihatnya.
Wanita itu mulai mengulum penis Edo, mulutnya penuh sesak oleh kepala penis
yang besar itu, hanya sebagian kecil saja kemaluan Edo yang bisa masuk ke
mulutnya sementara sisanya ia kocok-kocokkan dengan telapak tangan yang ia
lumuri air liurnya. Edo kini menikmati permainan itu.
“Auuuhh…,
Bu, ooohh…, enaakk aahh Bu dokter…, oooh nikmat sekali…, mm…, oooh enaknya…,
ooohh…, ssstt…, aahh”, desah pemuda itu mulai menikmatinya.
Sesaat
kemudian, Dokter Miranti melepaskan kemaluan yang besar itu lalu membaringkan
dirinya kembali di pinggiran tempat tidur. Edo meraih kedua kaki wanita itu dan
langsung menempatkan dirinya tepat di depan selangkangan dokter Miranti yang
terbuka lebar. Dengan sangat perlahan Edo mengarahkan kemaluannya menuju liang
vagina yang menganga itu dan,
“Sreett..,
bleeesss”.
“Aduuuhh…,
aauuu Edooo…, sa.., sa.., sakiiittt… , vaginaku robeeek aahh…, sakiiit”, teriak
dokter Miranti merasakan vaginanya yang ternyata terlalu kecil untuk penis Edo
yang super besar, ia merasakan vaginanya robek oleh terobosan penis Edo. Lebih
dahsyat dari saat ia mengalami malam pertamanya.
“Edo sayang,
punya kamu besar sekali. Vaginaku rasanya robek do, mainnya yang pelan aja ya, sayang?”,
pintanya lalu pada Edo.
“Ouuuhh…,
ba.., ba.., baik, Bu”, jawab Edo yang tampak sudah merasa begitu nikmat dengan
masuknya penis ke dalam vagina dokter Miranti.
Kini
dibelainya rambut sang dokter sambil menciumi pipinya yang halus dengan mesra.
Pemuda itu mulai menggerakkan penisnya keluar masuk vagina dokter Miranti
dengan perlahan sekali sampai beberapa menit kemudian rasa sakit yang ada dalam
vagina wanita itu berubah menjadi nikmat, barulah Edo mulai bergerak menggenjot
tubuh wanita itu dengan agak cepat. Gerakan tubuh mereka saling membentur
mempertemukan kedua kemaluan mereka. Nafsu birahi mereka tampak begitu membara
dari gerakan yang semakin lama semakin menggairahkan, teriakan kecil kini telah
berubah menjadi desah keras menahan nikmatnya hubungan seks itu.
Keduanya
tampak semakin bersemangat, saling menindih bergilir menggenjot untuk meraih
tahap demi tahap kenikmatan seks itu. Edo yang baru pertama kali merasakan
nikmatnya hubungan seks itu benar-benar menikmati keluar masuknya penis besar
itu ke dalam liang vagina sang dokter yang semakin lama menjadi semakin licin
akibat cairan kelamin yang mulai melumasi dindingnya. Demikian pula halnya dengan dokter
Miranti. Ia begitu tampak kian menikmati goyangan tubuh mereka, ukuran penis
Edo yang super besar dan terasa merobek liang vaginanya itu kini menjadi sangat
nikmat menggesek di dalamnya. Ia berteriak sejadi-jadinya, namun bukan lagi
karena merasa sakit tapi untuk mengimbangi dahsyatnya kenikmatan dari penis
pemuda itu. Tak pernah ia bayangkan akan dapat menemukan penis sebesar dan
sepanjang milik Edo, penis suaminya yang bahkan ia tahu sering meminum obat
untuk pembesar alat kelamin tak dapat dibandingkan dengan ukuran penis Edo.
Baru pertama kali ini ia melihat ada kemaluan sebesar itu, panjang dan keras
sekali.
Bunyi
teriakan nyaring bercampur decakan becek dari kedua alat kelamin mereka
memenuhi ruangan luas di kamar suite hotel itu. Desahan mereka menahan
kenikmatan itu semakin memacu gerakan mereka menjadi kian liar.
“Ooohh…,
ooohh…, ooohh…, enaak…, oooh…, enaknya bu…, ooohh nikmat sekali ooohh”, desah
Edo.
“mm…, aahh…,
goyang terus, Do…, ibu suka sama punya kamu, ooohh…, enaknya, sayang ooohh…,
ibu sayang kamu Edo…, ooohh”, balas dokter Miranti sambil terus mengimbangi
genjotan tubuh pemuda itu dengan menggoyang pinggulnya.
Lima belas
menit lebih mereka melakukannya dengan posisi itu dimana Edo menindih tubuh
sang dokter yang mengapit dengan pahanya. Kini saatnya mereka ingin mengganti gaya.
“Ouuuhh Edo
sayang, ganti gaya yuuuk?”, ajak sang dokter sambil menghentikan gerakannya.
“Baik, Bu”,
jawab pemuda itu mengiyakan.
“Kamu di
bawah ya sayang? Ibu pingin goyang di atas tubuh kamu”, katanya sambil
menghentikan gerakan tubuh Edo, pemuda itu mengangguk sambil perlahan
melepaskan penisnya dari jepitan vagina dokter Miranti. Kemudian ia duduk
sejenak mengambil nafas sambil memandangi tubuh wanita itu.
“uuuh,
cantiknya wanita ini”, ia bergumam dalam hati lalu berbaring menunggu dokter
Miranti yang sudah siap menungganginya. Dokter Miranti berlutut diatas tubuh Edo, diraihnya penis besar Edo
dan diarahkan ke bibir vagina merah muda tak berbulu, perlahan dokter Miranti
menurunkan tubuhnya, akibatnya kepala penis yang sudah tegang menantang itu ditelan
oleh lubang nikmat dokter Miranti.
“Ooohhhh…. Edo…. Nikmat…. Sekali… punyamu…” kata
dokter Miranti sambil menggoyang tubuhnya. Edo mengimbangi gerakan dokter
Miranti, dan tak lama kemudian dokter Mirantipun mengalami puncak kenikmatan
yang tiada tara.
“Oohh… oh… ooooooohhhhhh” tubuh telanjang dokter
Miranti yang berkeringat itu melengkung ke belakang seperti menggeliat diatas
tubuh pemuda yang batang penisnya masih berada dalam lubang vaginanya. Kemudian
tubuh dokter Miranti akhirnya roboh memeluk tubuh laki-laki yang bukan
suaminya.
Edo menggulingkan kedua tubuh yang masih bersetubuh,
sehingga posisinya terbalik. Tubuh Edo menindih tubuh seksi dokter Miranti. Tanpa
menunggu perintah Edo langsung menggoyang tubuhnya sehingga memasuk-keluarkan
penisnya mengejar kenikmatan hingga keduanya orgasme bersamaan. Air mani Edo
banyak sekali menyemprot didalam rahim dokter Miranti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar