Tokoh Utama
:
- Novianti (31 tahun)
- Ayah Mertua ( 50 tahun)
Tokoh Figuran :
- Toni (32 tahun), Inah,
Namaku Novianti, usiaku telah menginjak kepala tiga.
Sudah menikah setahun lebih dan baru mempunyai seorang bayi laki-laki. Suamiku
berusia hanya lebih tua satu tahun dariku. Kehidupan kami dapat dikatakan
sangat bahagia. Memang kami berdua kawin dalam umur agak terlambat sudah diatas
30 tahun.
Selewat 40
hari dari melahirkan, suamiku masih takut untuk berhubungan seks. Mungkin dia
masih teringat pada waktu aku menjerit-jerit pada saat melahirkan, memang dia
juga turut masuk ke ruang persalinan mendampingi saya waktu melahirkan. Di
samping itu aku memang juga sibuk benar dengan si kecil, baik siang maupun
malam hari. Si kecil sering bangun malam-malam, nangis dan aku harus
menyusuinya sampai dia tidur kembali.
Sementara
suamiku semakin sibuk saja di kantor, maklum dia bekerja di sebuah kantor Bank
Pemerintah di bagian Teknologi, jadi pulangnya sering terlambat. Keadaan ini
berlangsung dari hari ke hari, hingga suatu saat terjadi hal baru yang mewarnai
kehidupan kami, khususnya kehidupan pribadiku sendiri.
Ketika itu
kami mendapat kabar bahwa ayah mertuaku yang berada di Amerika bermaksud datang
ke tempat kami. Memang selama ini kedua mertuaku tinggal di Amerika bersama
dengan anak perempuan mereka yang menikah dengan orang sana. Dia datang kali
ini ke Indonesia sendiri untuk menyelesaikan sesuatu urusan. Ibu mertua nggak
bisa ikut karena katanya kakinya sakit.
Ketika sampai waktu
kedatangannya, kami menjemput di airport, suamiku langsung mencari-cari
ayahnya. Suamiku langsung berteriak gembira ketika menemukan sosok seorang pria
yang tengah duduk sendiri di ruang tunggu. Orang itu langsung berdiri dan
menghampiri kami. Ia lalu berpelukan dengan suamiku. Saling melepas rindu. Aku
memperhatikan mereka.
Ayah
mertuaku masih nampak muda diumurnya menjelang akhir 50-an, meski kulihat ada
beberapa helai uban di rambutnya. Tubuhnya yang tinggi besar, dengan kulit
gelap masih tegap dan berotot. Kelihatannya ia tidak pernah meninggalkan
kebiasaannya berolah raga sejak dulu. Beliau berasal dari belahan Indonesia
Timur dan sebelum pensiun ayah mertua adalah seorang perwira angkatan darat.
“Hei nak Novi. Apa khabar…!”, sapa ayah mertua padaku ketika selesai berpelukan dengan suamiku.
“Ayah, apa kabar? Sehat-sehat saja kan? Bagaimana keadaan Ibu di Amerika..?” balasku.
“Oh…Ibu baik-baik saja. Beliau nggak bisa ikut, karena kakinya agak sakit, mungkin keseleo….”
“Ayo kita ke rumah”, kata suamiku kemudian.
“Hei nak Novi. Apa khabar…!”, sapa ayah mertua padaku ketika selesai berpelukan dengan suamiku.
“Ayah, apa kabar? Sehat-sehat saja kan? Bagaimana keadaan Ibu di Amerika..?” balasku.
“Oh…Ibu baik-baik saja. Beliau nggak bisa ikut, karena kakinya agak sakit, mungkin keseleo….”
“Ayo kita ke rumah”, kata suamiku kemudian.
Sejak adanya
ayah di rumah, ada perubahan yang cukup berarti dalam kehidupan kami. Sekarang
suasana di rumah lebih hangat, penuh canda dan gelak tawa. Ayah mertuaku
orangnya memang pandai membawa diri, pandai mengambil hati orang. Dengan adanya
ayah mertua, suamiku jadi lebih betah di rumah. Ngobrol bersama, jalan-jalan
bersama.
Akan tetapi
pada hari-hari tertentu, tetap saja pekerjaan kantornya menyita waktunya sampai
malam, sehingga dia baru sampai kerumah di atas jam 10 malam. Hal ini biasanya
pada hari-hari Senin setiap minggu. Sampai terjadilah peristiwa ini pada hari
Senin ketiga sejak kedatangan ayah mertua dari Amerika.
Sore itu aku habis senam seperti biasanya. Memang sejak sebulan setelah melahirkan, aku mulai giat lagi bersenam kembali, karena memang sebelum hamil aku termasuk salah seorang yang amat giat melakukan senam dan itu biasanya kulakukan pada sore hari. Setelah merasa cukup kuat lagi, sekarang aku mulai bersenam lagi, disamping untuk melemaskan tubuh, juga kuharapkan tubuhku bisa cepat kembali ke bentuk semula yang langsing, karena memang postur tubuhku termasuk tinggi kurus akan tetapi padat.
Sore itu aku habis senam seperti biasanya. Memang sejak sebulan setelah melahirkan, aku mulai giat lagi bersenam kembali, karena memang sebelum hamil aku termasuk salah seorang yang amat giat melakukan senam dan itu biasanya kulakukan pada sore hari. Setelah merasa cukup kuat lagi, sekarang aku mulai bersenam lagi, disamping untuk melemaskan tubuh, juga kuharapkan tubuhku bisa cepat kembali ke bentuk semula yang langsing, karena memang postur tubuhku termasuk tinggi kurus akan tetapi padat.
Setelah
mandi aku langsung makan dan kemudian meneteki si kecil di kamar. Mungkin
karena badan terasa penat dan pegal sehabis senam, aku jadi mengantuk dan
setelah si kecil kenyang dan tidur, aku menidurkan si kecil di box tempat
tidurnya. Kemudian aku berbaring di tempat tidur. Saking sudah sangat
mengantuk, tanpa terasa aku langsung tertidur. Bahkan aku pun lupa mengunci
pintu kamar.
Setengah
bermimpi, aku merasakan tubuhku begitu nyaman. Rasa penat dan pegal-pegal tadi
seperti berangsur hilang… Bahkan aku merasakan tubuhku bereaksi aneh. Rasa
nyaman sedikit demi sedikit berubah menjadi sesuatu yang membuatku
melayang-layang. Aku seperti dibuai oleh hembusan angin semilir yang menerpa
bagian-bagian peka di tubuhku.
Tanpa sadar
aku menggeliat merasakan semua ini sambil melenguh perlahan. Dalam tidurku, aku
bermimpi suamiku sedang membelai-belai tubuhku dan kerena memang telah cukup
lama kami tidak berhubungan badan, sejak kandunganku berumur 8 bulan, yang
berarti sudah hampir 3 bulan lamanya, maka terasa suamiku sangat agresif
menjelajahi bagian-bagian sensitif dari sudut tubuhku.
Tiba-tiba
aku sadar dari tidurku… tapi kayaknya mimpiku masih terus berlanjut. Malah
belaian, sentuhan serta remasan suamiku ke tubuhku makin terasa nyata. Kemudian
aku mengira ini perbuatan suamiku yang telah kembali dari kantor. Ketika aku
membuka mataku, terlihat cahaya terang masih memancar masuk dari lobang angin
dikamarku, yang berarti hari masih sore. Lagian ini kan hari Senin, seharusnya
dia baru pulang agak malam, jadi siapa ini yang sedang mencumbuku…
Aku segera
terbangun dan membuka mataku lebar-lebar. Hampir saja aku menjerit sekuat
tenaga begitu melihat orang yang sedang menggeluti tubuhku. Ternyata… dia
adalah mertuaku sendiri. Melihat aku terbangun, mertuaku sambil tersenyum,
terus saja melanjutkan kegiatannya menciumi betisku. Sementara dasterku sudah
terangkat tinggi-tinggi hingga memperlihatkan seluruh pahaku yang putih mulus.
“Yah…!! Stop….jangan…. Yaaahhhh…!!?” jeritku dengan suara tertahan karena takut terdengar oleh Si Inah pembantuku.
“Nov, maafkan Bapak…. Kamu jangan marah seperti itu dong, sayang….!!” Ia malah berkata seperti itu, bukannya malu didamprat olehku.
“Yah…!! Stop….jangan…. Yaaahhhh…!!?” jeritku dengan suara tertahan karena takut terdengar oleh Si Inah pembantuku.
“Nov, maafkan Bapak…. Kamu jangan marah seperti itu dong, sayang….!!” Ia malah berkata seperti itu, bukannya malu didamprat olehku.
“Ayah nggak
boleh begitu, cepat keluar, saya mohon….!!”, pintaku menghiba, karena kulihat
tatapan mata mertuaku demikian liar sambil tangannya tak berhenti menggerayang
ke sekujur tubuhku. Aku mencoba menggeliat bangun dan buru-buru menurunkan
daster untuk menutupi pahaku dan beringsut-ingsut menjauhinya dan mepet ke
ujung ranjang. Akan tetapi mertuaku makin mendesak maju menghampiriku dan duduk
persis di sampingku. Tubuhnya mepet kepadaku. Aku semakin ketakutan.
“Nov… Kamu nggak kasihan melihat Bapak seperti ini? Ayolah, Bapak kan sudah lama merindukan untuk bisa menikmati badan Novi yang langsing padat ini….!!!!”, desaknya.
“Jangan berbicara begitu. Ingat Yah… aku kan menantumu…. istri Toni anakmu?”, jawabku mencoba menyadarinya.
“Jangan menyebut-nyebut si Toni saat ini, Bapak tahu Toni belum lagi menggauli nak Novi, sejak nak Novi habis melahirkan… Benar-benar keterlaluan tu anak….!!, lanjutnya.
Rupanya entah dengan cara bagaimana dia bisa memancing hubungan kita suami istri dari Toni. Ooooh…. benar-benar bodoh si Toni, batinku, nggak tahu kelakuan Bapaknya.
“Nov… Kamu nggak kasihan melihat Bapak seperti ini? Ayolah, Bapak kan sudah lama merindukan untuk bisa menikmati badan Novi yang langsing padat ini….!!!!”, desaknya.
“Jangan berbicara begitu. Ingat Yah… aku kan menantumu…. istri Toni anakmu?”, jawabku mencoba menyadarinya.
“Jangan menyebut-nyebut si Toni saat ini, Bapak tahu Toni belum lagi menggauli nak Novi, sejak nak Novi habis melahirkan… Benar-benar keterlaluan tu anak….!!, lanjutnya.
Rupanya entah dengan cara bagaimana dia bisa memancing hubungan kita suami istri dari Toni. Ooooh…. benar-benar bodoh si Toni, batinku, nggak tahu kelakuan Bapaknya.
Mertuaku
sambil terus mendesakku berkata bahwa ia telah berhubungan dengan banyak wanita
lain selain ibu mertua dan dia tak pernah mendapatkan wanita yang mempunyai
tubuh yang semenarik seperti tubuhku ini. Aku setengah tak percaya mendengar
omongannya. Ia hanya mencoba merayuku dengan rayuan murahan dan menganggap aku
akan merasa tersanjung.
Aku mencoba
menghindar… tapi sudah tidak ada lagi ruang gerak bagiku di sudut tempat tidur.
Ketika kutatap wajahnya, aku melihat mimik mukanya yang nampaknya makin hitam
karena telah dipenuhi nafsu birahi. Aku mulai berpikir bagaimana caranya untuk
menurunkan hasrat birahi mertuaku yang kelihatan sudah menggebu-gebu. Melihat
caranya, aku sadar mertuaku akan berbuat apa pun agar maksudnya kesampaian.
Kemudian terlintas dalam pikiranku untuk mengocok kemaluannya saja, sehingga nafsunya bisa tersalurkan tanpa harus memperkosa aku. Akhirnya dengan hati-hati kutawarkan hal itu kepadanya.
“Yahh… biar Novi mengocok Ayah saja ya… karena Novi nggak mau ayah menyetubuhi Novi… Gimana…?”
Mertuaku diam dan tampak berpikir sejenak. Raut mukanya kelihatan sedikit kecewa namun bercampur sedikit lega karena aku masih mau bernegosiasi.
Kemudian terlintas dalam pikiranku untuk mengocok kemaluannya saja, sehingga nafsunya bisa tersalurkan tanpa harus memperkosa aku. Akhirnya dengan hati-hati kutawarkan hal itu kepadanya.
“Yahh… biar Novi mengocok Ayah saja ya… karena Novi nggak mau ayah menyetubuhi Novi… Gimana…?”
Mertuaku diam dan tampak berpikir sejenak. Raut mukanya kelihatan sedikit kecewa namun bercampur sedikit lega karena aku masih mau bernegosiasi.
“Baiklah..”,
kata mertuaku seakan tidak punya pilihan lain karena aku ngotot tak akan
memberikan apa yang dimintanya.
Mungkin inilah kesalahanku. Aku terlalu yakin bahwa jalan keluar ini akan meredam keganasannya. Kupikir biasanya lelaki kalau sudah tersalurkan pasti akan surut nafsunya untuk kemudian tertidur. Aku lalu menarik celana pendeknya.
Ugh! Sialan, ternyata dia sudah tidak memakai celana dalam lagi. Begitu celananya kutarik, batangnya langsung melonjak berdiri seperti ada pernya. Aku sangat kaget dan terkesima melihat batang kemaluan mertuaku itu….
Oooohhhh…… benar-benar panjang dan besar. Jauh lebih besar daripada punya Toni suamiku. Mana hitam lagi, dengan kepalanya yang mengkilap bulat besar sangat tegang berdiri dengan gagah perkasa, padahal usianya sudah tidak muda lagi.
Mungkin inilah kesalahanku. Aku terlalu yakin bahwa jalan keluar ini akan meredam keganasannya. Kupikir biasanya lelaki kalau sudah tersalurkan pasti akan surut nafsunya untuk kemudian tertidur. Aku lalu menarik celana pendeknya.
Ugh! Sialan, ternyata dia sudah tidak memakai celana dalam lagi. Begitu celananya kutarik, batangnya langsung melonjak berdiri seperti ada pernya. Aku sangat kaget dan terkesima melihat batang kemaluan mertuaku itu….
Oooohhhh…… benar-benar panjang dan besar. Jauh lebih besar daripada punya Toni suamiku. Mana hitam lagi, dengan kepalanya yang mengkilap bulat besar sangat tegang berdiri dengan gagah perkasa, padahal usianya sudah tidak muda lagi.
Tanganku
bergerak canggung. Bagaimananpun baru kali ini aku memegang kontol orang selain
milik suamiku, mana sangat besar lagi sehingga hampir tak bisa muat dalam
tanganku. Perlahan-lahan tanganku menggenggam batangnya. Kudengar lenguhan
nikmat keluar dari mulutnya seraya menyebut namaku.
“Ooooohhh…..sssshhhh…..Noviii…eee..eeenaaak. .. betulll..!!!” Aku mendongak melirik kepadanya. Nampak wajah mertuaku meringis menahan remasan lembut tanganku pada batangnya.
“Ooooohhh…..sssshhhh…..Noviii…eee..eeenaaak. .. betulll..!!!” Aku mendongak melirik kepadanya. Nampak wajah mertuaku meringis menahan remasan lembut tanganku pada batangnya.
Aku mulai
bergerak turun naik menyusuri batangnya yang besar panjang dan teramat keras
itu. Sekali-sekali ujung telunjukku mengusap moncongnya yang sudah licin oleh
cairan yang meleleh dari liangnya. Kudengar mertuaku kembali melenguh merasakan
ngilu akibat usapanku. Aku tahu dia sudah sangat bernafsu sekali dan mungkin
dalam beberapa kali kocokan ia akan menyemburkan air maninya. Sebentar lagi
tentu akan segera selesai sudah, pikirku mulai tenang.
Dua menit,
tiga… sampai lima menit berikutnya mertuaku masih bertahan meski kocokanku
sudah semakin cepat. Kurasakan tangan mertuaku menggerayangi ke arah dadaku.
Aku kembali mengingatkan agar jangan berbuat macam-macam.
“Nggak apa-apa …..biar cepet keluar..”, kata mertuaku memberi alasan.
“Nggak apa-apa …..biar cepet keluar..”, kata mertuaku memberi alasan.
Aku tidak
mengiyakan dan juga tidak menepisnya karena kupikir ada benarnya juga. Biar
cepat selesai, kataku dalam hati. Mertuaku tersenyum melihatku tidak
melarangnya lagi. Ia dengan lembut dan hati-hati mulai meremas-remas kedua
payudara di balik dasterku. Aku memang tidak mengenakan kutang kerena habis
menyusui si kecil tadi. Jadi remasan tangan mertua langsung terasa karena kain
daster itu sangat tipis.
Sebagai wanita normal, aku merasakan kenikmatan juga atas remasan ini. Apalagi tanganku masih menggenggam batangnya dengan erat, setidaknya aku mulai terpengaruh oleh keadaan ini. Meski dalam hati aku sudah bertekad untuk menahan diri dan melakukan semua ini demi kebaikan diriku juga. Karena tentunya setelah ini selesai dia tidak akan berbuat lebih jauh lagi padaku.
“Novi sayang.., buka ya? Sedikit aja..”, pinta mertuaku kemudian.
“Jangan Yah. Tadi kan sudah janji nggak akan macam-macam..”, ujarku mengingatkan.
“Sedikit aja. Ya?” desaknya lagi seraya menggeser tali daster dari pundakku sehingga bagian atas tubuhku terbuka. Aku jadi gamang dan serba salah. Sementara bagian dada hingga ke pinggang sudah telanjang. Nafas mertuaku semakin memburu kencang melihatku setengah telanjang.
Sebagai wanita normal, aku merasakan kenikmatan juga atas remasan ini. Apalagi tanganku masih menggenggam batangnya dengan erat, setidaknya aku mulai terpengaruh oleh keadaan ini. Meski dalam hati aku sudah bertekad untuk menahan diri dan melakukan semua ini demi kebaikan diriku juga. Karena tentunya setelah ini selesai dia tidak akan berbuat lebih jauh lagi padaku.
“Novi sayang.., buka ya? Sedikit aja..”, pinta mertuaku kemudian.
“Jangan Yah. Tadi kan sudah janji nggak akan macam-macam..”, ujarku mengingatkan.
“Sedikit aja. Ya?” desaknya lagi seraya menggeser tali daster dari pundakku sehingga bagian atas tubuhku terbuka. Aku jadi gamang dan serba salah. Sementara bagian dada hingga ke pinggang sudah telanjang. Nafas mertuaku semakin memburu kencang melihatku setengah telanjang.
“Oh.., Novii
kamu benar-benar cantik sekali….!!!”, pujinya sambil memilin-milin dengan
hati-hati puting susuku, yang mulai basah dengan air susu. Aku terperangah.
Situasi sudah mulai mengarah pada hal yang tidak kuinginkan.
Aku harus
bertindak cepat. Tanpa pikir panjang, langsung kumasukkan batang kemaluan
mertuaku ke dalam mulutku dan mengulumnya sebisa mungkin agar ia cepat-cepat
selesai dan tidak berlanjut lebih jauh lagi. Aku sudah tidak mempedulikan
perbuatan mertuaku pada tubuhku. Aku biarkan tangannya dengan leluasa
menggerayang ke sekujur tubuhku, bahkan ketika kurasakan tangannya mulai
mengelus-elus bagian kemaluanku pun aku tak berusaha mencegahnya. Aku lebih
berkonsentrasi untuk segera menyelesaikan semua ini secepatnya. Jilatan dan
kulumanku pada batang kontolnya semakin mengganas sampai-sampai mertuaku
terengah-engah merasakan kelihaian permainan mulutku.
Aku tambah
bersemangat dan semakin yakin dengan kemampuanku untuk membuatnya segera
selesai. Keyakinanku ini ternyata berakibat fatal bagiku. Sudah hampir setengah
jam, aku belum melihat tanda-tanda apapun dari mertuaku. Aku jadi penasaran,
sekaligus merasa tertantang. Suamiku pun yang sudah terbiasa denganku, bila
sudah kukeluarkan kemampuan seperti ini pasti takkan bertahan lama. Tapi kenapa
dengan mertuaku ini? Apa ia memakai obat kuat?
Saking
penasarannya, aku jadi kurang memperhatikan perbuatan mertuaku padaku. Entah
sejak kapan daster tidurku sudah terlepas dari tubuhku. Aku baru sadar ketika
mertuaku berusaha menarik celana dalamku dan itu pun terlambat!
Begitu
menengok ke bawah, celana itu baru saja terlepas dari ujung kakiku. Aku sudah
telanjang bulat! Ya ampun, kenapa kubiarkan semua ini terjadi. Aku menyesal
kenapa memulainya. Ternyata kejadiannya tidak seperti yang kurencanakan. Aku
terlalu sombong dengan keyakinanku. Kini semuanya sudah terlambat. Berantakan
semuanya! Pekikku dalam hati penuh penyesalan. Situasi semakin tak terkendali.
Lagi-lagi aku kecolongan.
Mertuaku
dengan lihainya dan tanpa kusadari sudah membalikkan tubuhku hingga berlawanan
dengan posisi tubuhnya. Kepalaku berada di bawahnya sementara kepalanya berada
di bawahku. Kami sudah berada dalam posisi enam sembilan! Tak lama kemudian
kurasakan sentuhan lembut di seputar selangkanganku. Tubuhku langsung bereaksi
dan tanpa sadar aku menjerit lirih.
Suka tidak
suka, mau tidak mau, kurasakan kenikmatan cumbuan mertuaku di sekitar itu. Akh
luar biasa! Aku menjerit dalam hati sambil menyesali diri. Aku marah pada
diriku sendiri, terutama pada tubuhku sendiri yang sudah tidak mau mengikuti
perintah pikiran sehatku.
Tubuhku
meliuk-liuk mengikuti irama permainan lidah mertuaku. Kedua pahaku mengempit
kepalanya seolah ingin membenamkan wajah itu ke dalam selangkanganku. Kuakui ia
memang pandai membuat birahiku memuncak. Kini aku sudah lupa dengan siasat
semula. Aku sudah terbawa arus. Aku malah ingin mengimbangi permainannya.
Mulutku bermain dengan lincah. Batangnya kukempit dengan buah dadaku yang
membusung penuh dan kenyal. Maklum, masih menyusui.
Sementara
kontol itu bergerak di antara buah dadaku, mulutku tak pernah lepas
mengulumnya. Tanpa kusadari kami saling mencumbu bagian vital masing-masing
selama lima belas menit. Aku semakin yakin kalau mertuaku memakai obat kuat. Ia
sama sekali belum memperlihatkan tanda-tanda akan keluar, sementara aku sudah
mulai merasakan desiran-desiran kuat bergerak cepat ke arah pusat kewanitaanku.
Jilatan dan hisapan mulut mertuaku benar-benar membuatku tak berdaya.
Aku semakin
tak terkendali. Pinggulku meliuk-liuk liar. Tubuhku mengejang, seluruh aliran
darah serasa terhenti dan aku tak kuasa untuk menahan desakan kuat gelombang
lahar panas yang mengalir begitu cepat.
“Oooohhhhh…….aaaa….aaaaa……aaauugghhhhhhh hh..!!!!!” aku menjerit lirih begitu aliran itu mendobrak pertahananku. Kurasakan cairan kewanitaanku menyembur tak tertahankan. Tubuhku menggelepar seperti ikan terlempar ke darat merasakan kenikmatan ini. Aku terkulai lemas sementara batang kontol mertuaku masih berada dalam genggamanku dan masih mengacung dengan gagahnya, bahkan terasa makin kencang saja.
“Oooohhhhh…….aaaa….aaaaa……aaauugghhhhhhh hh..!!!!!” aku menjerit lirih begitu aliran itu mendobrak pertahananku. Kurasakan cairan kewanitaanku menyembur tak tertahankan. Tubuhku menggelepar seperti ikan terlempar ke darat merasakan kenikmatan ini. Aku terkulai lemas sementara batang kontol mertuaku masih berada dalam genggamanku dan masih mengacung dengan gagahnya, bahkan terasa makin kencang saja.
Aku mengeluh
karena tak punya pilihan lain. Sudah kepalang basah. Aku sudah tidak mempunyai
cukup tenaga lagi untuk mempertahankan kehormatanku, aku hanya tergolek lemah
tak berdaya saat mertuaku mulai menindih tubuhku. Dengan lembut ia mengusap
wajahku dan berkata betapa cantiknya aku sekarang ini.
“Noviii…..kau sungguh cantik. Tubuhmu indah dan langsing tapi padat berisi.., mmpphh..!!!”, katanya sambil menciumi bibirku, mencoba membuka bibirku dengan lidahnya.
“Noviii…..kau sungguh cantik. Tubuhmu indah dan langsing tapi padat berisi.., mmpphh..!!!”, katanya sambil menciumi bibirku, mencoba membuka bibirku dengan lidahnya.
Aku seakan
terpesona oleh pujiannya. Cumbu rayunya begitu menggairahkanku. Aku
diperlakukan bagai sebuah porselen yang mudah pecah. Begitu lembut dan
hati-hati. Hatiku entah mengapa semakin melambung tinggi mendengar semua
kekagumannya terhadap tubuhku.
Wajahku yang
cantik, tubuhku yang indah dan berisi. Payudaraku yang membusung penuh dan
menggantung indah di dada. Permukaan agak menggembung, pinggul yang membulat
padat berisi menyambung dengan buah pantatku yang `bahenol’. Diwajah mertuaku
kulihat memperlihatkan ekspresi kekaguman yang tak terhingga saat matanya
menatap nanar ke arah lembah bukit di sekitar selangkanganku yang baru numbuh
bulu-bulu hitam pendek, dengan warna kultiku yang putih mulus. Kurasakan
tangannya mengelus paha bagian dalam. Aku mendesis dan tanpa sadar membuka
kedua kakiku yang tadinya merapat.
Mertuaku
menempatkan diri di antara kedua kakiku yang terbuka lebar. Kurasakan kepala
kontolnya yang besar ditempelkan pada bibir kemaluanku. Digesek-gesek, mulai
dari atas sampai ke bawah. Naik turun. Aku merasa ngilu bercampur geli dan
nikmat. Cairan yang masih tersisa di sekitar itu membuat gesekannya semakin
lancar karena licin.
Aku
terengah-engah merasakannya. Kelihatannya ia sengaja melakukan itu. Apalagi
saat moncong kontolnya itu menggesek-gesek kelentitku yang sudah menegang.
Mertuaku menatap tajam melihat reaksiku. Aku balas menatap seolah memintanya
untuk segera memasuki diriku secepatnya.
Ia tahu
persis apa yang kurasakan saat itu. Namun kelihatannya ia ingin melihatku
menderita oleh siksaan nafsuku sendiri. Kuakui memang aku sudah tak tahan untuk
segera menikmati batang kontolnya dalam memekku. Aku ingin segera membuatnya
`KO’. Terus terang aku sangat penasaran dengan keperkasaannya. Kuingin buktikan
bahwa aku bisa membuatnya cepat-cepat mencapai puncak kenikmatan.
“Yah..?” panggilku menghiba.
“Apa sayang…”, jawabnya seraya tersenyum melihatku tersiksa.
“Cepetan..yaaahhhhh…….!!!”
“Sabar sayang. Kamu ingin Bapak berbuat apa…….?” tanyanya pura-pura tak mengerti.
“Yah..?” panggilku menghiba.
“Apa sayang…”, jawabnya seraya tersenyum melihatku tersiksa.
“Cepetan..yaaahhhhh…….!!!”
“Sabar sayang. Kamu ingin Bapak berbuat apa…….?” tanyanya pura-pura tak mengerti.
Aku tak
menjawab. Tentu saja aku malu mengatakannya secara terbuka apa keinginanku saat
itu. Namun mertuaku sepertinya ingin mendengarnya langsung dari bibirku. Ia
sengaja mengulur-ulur dengan hanya menggesek-gesekan kontolnya. Sementara aku
benar-benar sudah tak tahan lagi mengekang birahiku.
“Novii….iiii… iiiingiiinnnn aaa…aaayahhhh….se….se.. seeegeeeraaaa ma… masukin..!!!”, kataku terbata-bata dengan terpaksa.
Aku sebenarnya sangat malu mengatakan ini. Aku yang tadi begitu ngotot tidak akan memberikan tubuhku padanya, kini malah meminta-minta. Perempuan macam apa aku ini!?
“Apanya yang dimasukin…….!!”, tanyanya lagi seperti mengejek.
“Aaaaaaggggkkkkkhhhhh…..ya…yaaaahhhh. Ja…..ja….Jaaangan siksa Noviiii..!!!”
“Bapak tidak bermaksud menyiksa kamu sayang……!!”
“Oooooohhhhhh.., Yaaaahhhh… Noviii ingin dimasukin kontol ayah ke dalam memek Novi…… uugghhhh..!!!”
Aku kali ini sudah tak malu-malu lagi mengatakannya dengan vulgar saking tak tahannya menanggung gelombang birahi yang menggebu-gebu. Aku merasa seperti wanita jalang yang haus seks. Aku hampir tak percaya mendengar ucapan itu keluar dari bibirku sendiri. Tapi apa mau dikata, memang aku sangat menginginkannya segera.
“Baiklah sayang. Tapi pelan-pelan ya”, kata mertuaku dengan penuh kemenangan telah berhasil menaklukan diriku.
“Uugghh..”, aku melenguh merasakan desakan batang kontolnya yang besar itu. Aku menunggu cukup lama gerakan kontol mertuaku memasuki diriku. Serasa tak sampai-sampai. Selain besar, kontol mertuaku sangat panjang juga. Aku sampai menahan nafas saat batangnya terasa mentok di dalam. Rasanya sampai ke ulu hati. Aku baru bernafas lega ketika seluruh batangnya amblas di dalam.
“Novii….iiii… iiiingiiinnnn aaa…aaayahhhh….se….se.. seeegeeeraaaa ma… masukin..!!!”, kataku terbata-bata dengan terpaksa.
Aku sebenarnya sangat malu mengatakan ini. Aku yang tadi begitu ngotot tidak akan memberikan tubuhku padanya, kini malah meminta-minta. Perempuan macam apa aku ini!?
“Apanya yang dimasukin…….!!”, tanyanya lagi seperti mengejek.
“Aaaaaaggggkkkkkhhhhh…..ya…yaaaahhhh. Ja…..ja….Jaaangan siksa Noviiii..!!!”
“Bapak tidak bermaksud menyiksa kamu sayang……!!”
“Oooooohhhhhh.., Yaaaahhhh… Noviii ingin dimasukin kontol ayah ke dalam memek Novi…… uugghhhh..!!!”
Aku kali ini sudah tak malu-malu lagi mengatakannya dengan vulgar saking tak tahannya menanggung gelombang birahi yang menggebu-gebu. Aku merasa seperti wanita jalang yang haus seks. Aku hampir tak percaya mendengar ucapan itu keluar dari bibirku sendiri. Tapi apa mau dikata, memang aku sangat menginginkannya segera.
“Baiklah sayang. Tapi pelan-pelan ya”, kata mertuaku dengan penuh kemenangan telah berhasil menaklukan diriku.
“Uugghh..”, aku melenguh merasakan desakan batang kontolnya yang besar itu. Aku menunggu cukup lama gerakan kontol mertuaku memasuki diriku. Serasa tak sampai-sampai. Selain besar, kontol mertuaku sangat panjang juga. Aku sampai menahan nafas saat batangnya terasa mentok di dalam. Rasanya sampai ke ulu hati. Aku baru bernafas lega ketika seluruh batangnya amblas di dalam.
Mertuaku
mulai menggerakkan pinggulnya perlahan-lahan. Satu, dua dan tiga tusukan mulai
berjalan lancar. Semakin membanjirnya cairan dalam liang memekku membuat kontol
mertuaku keluar masuk dengan lancarnya. Aku mengimbangi dengan gerakan
pinggulku. Meliuk perlahan. Naik turun mengikuti irama tusukannya.
Gerakan kami
semakin lama semakin meningkat cepat dan bertambah liar. Gerakanku sudah tidak
beraturan karena yang penting bagiku tusukan itu mencapai bagian-bagian peka di
dalam relung kewanitaanku. Dia tahu persis apa yang kuinginkan.
Ia bisa
mengarahkan batangnya dengan tepat ke sasaran. Aku bagaikan berada di
awang-awang merasakan kenikmatan yang luar biasa ini. Batang mertuaku menjejal
penuh seluruh isi liangku, tak ada sedikitpun ruang yang tersisa hingga gesekan
batang itu sangat terasa di seluruh dinding vaginaku.
“Aduuhh..
auuffhh.., nngghh..!!!”, aku merintih, melenguh dan mengerang merasakan semua
kenikmatan ini.
Kembali aku mengakui keperkasaan dan kelihaian mertuaku di atas ranjang. Ia begitu hebat, jantan dan entah apalagi sebutan yang pantas kuberikan padanya. Toni suamiku tidak ada apa-apanya dibandingkan ayahnya yang bejat ini. Yang pasti aku merasakan kepuasan tak terhingga bercinta dengannya meski kusadari perbuatan ini sangat terlarang dan akan mengakibatkan permasalahan besar nantinya. Tetapi saat itu aku sudah tak perduli dan takkan menyesali kenikmatan yang kualami.
Kembali aku mengakui keperkasaan dan kelihaian mertuaku di atas ranjang. Ia begitu hebat, jantan dan entah apalagi sebutan yang pantas kuberikan padanya. Toni suamiku tidak ada apa-apanya dibandingkan ayahnya yang bejat ini. Yang pasti aku merasakan kepuasan tak terhingga bercinta dengannya meski kusadari perbuatan ini sangat terlarang dan akan mengakibatkan permasalahan besar nantinya. Tetapi saat itu aku sudah tak perduli dan takkan menyesali kenikmatan yang kualami.
Mertuaku
bergerak semakin cepat. Kontolnya bertubi-tubi menusuk daerah-daerah sensitive.
Aku meregang tak kuasa menahan desiran-desiran yang mulai berdatangan seperti
gelombang mendobrak pertahananku. Sementara mertuaku dengan gagahnya masih
mengayunkan pinggulnya naik turun, ke kiri dan ke kanan. Eranganku semakin
keras terdengar seiring dengan gelombang dahsyat yang semakin mendekati
puncaknya.
Melihat reaksiku, mertuaku mempercepat gerakannya. Batang kontolnya yang besar dan panjang itu keluar masuk dengan cepatnya seakan tak memperdulikan liangku yang sempit itu akan terkoyak akibatnya. Kulihat tubuh mertuaku sudah basah bermandikan keringat. Aku pun demikian. Tubuhku yang berkeringat nampak mengkilat terkena sinar lampu kamar.
Melihat reaksiku, mertuaku mempercepat gerakannya. Batang kontolnya yang besar dan panjang itu keluar masuk dengan cepatnya seakan tak memperdulikan liangku yang sempit itu akan terkoyak akibatnya. Kulihat tubuh mertuaku sudah basah bermandikan keringat. Aku pun demikian. Tubuhku yang berkeringat nampak mengkilat terkena sinar lampu kamar.
Aku mencoba
meraih tubuh mertuaku untuk mendekapnya. Dan disaat-saat kritis, aku berhasil
memeluknya dengan erat. Kurengkuh seluruh tubuhnya sehingga menindih tubuhku
dengan erat. Kurasakan tonjolan otot-ototnya yang masih keras dan pejal di
sekujur tubuhku. Kubenamkan wajahku di samping bahunya. Pinggul kuangkat
tinggi-tinggi sementara kedua tanganku menggapai buah pantatnya dan menarik
kuat-kuat.
Kurasakan semburan demi semburan memancar kencang dari dalam diriku. Aku meregang seperti ayam yang baru dipotong. Tubuhku mengejang-ngejang di atas puncak kenikmatan yang kualami untuk kedua kalinya saat itu.
Kurasakan semburan demi semburan memancar kencang dari dalam diriku. Aku meregang seperti ayam yang baru dipotong. Tubuhku mengejang-ngejang di atas puncak kenikmatan yang kualami untuk kedua kalinya saat itu.
“Yaaaah..,
ooooohhhhhhh.., Yaaaahhhhh..eeee…eeennnaaaakkkkkkkk…!!!”
Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku saking dahsyatnya kenikmatan yang kualami bersamanya.
“Sayang nikmatilah semua ini. Bapak ingin kamu dapat merasakan kepuasan yang sesungguhnya belum pernah kamu alami….”, bisik ayah dengan mesranya.
Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku saking dahsyatnya kenikmatan yang kualami bersamanya.
“Sayang nikmatilah semua ini. Bapak ingin kamu dapat merasakan kepuasan yang sesungguhnya belum pernah kamu alami….”, bisik ayah dengan mesranya.
“Bapak
sayang padamu, Bapak cinta padamu…. Bapak ingin melampiaskan kerinduan yang
menyesak selama ini..”, lanjutnya tak henti-henti membisikan untaian kata-kata
indah yang terdengar begitu romantis.
Aku mendengarnya dengan perasaan tak menentu. Kenapa ini datangnya dari lelaki yang bukan semestinya kusayangi. Mengapa kenikmatan ini kualami bersama mertuaku sendiri, bukan dari anaknya yang menjadi suamiku…????. Tanpa terasa air mata menitik jatuh ke pipi. Mertuaku terkejut melihat ini. Ia nampak begitu khawatir melihatku menangis.
Aku mendengarnya dengan perasaan tak menentu. Kenapa ini datangnya dari lelaki yang bukan semestinya kusayangi. Mengapa kenikmatan ini kualami bersama mertuaku sendiri, bukan dari anaknya yang menjadi suamiku…????. Tanpa terasa air mata menitik jatuh ke pipi. Mertuaku terkejut melihat ini. Ia nampak begitu khawatir melihatku menangis.
“Novi
sayang, kenapa menangis?” bisiknya buru-buru.
“Maafkan Bapak kalau telah membuatmu menderita..”, lanjutnya seraya memeluk dan mengelus-elus rambutku dengan penuh kasih sayang. Aku semakin sedih merasakan ini. Tetapi ini bukan hanya salahnya. Aku pun berandil besar dalam kesalahan ini. Aku tidak bisa menyalahkannya saja. Aku harus jujur dan adil menyikapinya.
“Bapak tidak salah. Novi yang salah..”, kataku kemudian.
“Tidak sayang. Bapak yang salah…”, katanya besikeras.
“Kita, Yah. Kita sama-sama salah”, kataku sekaligus memintanya untuk tidak memperdebatkan masalah ini lagi.
“Maafkan Bapak kalau telah membuatmu menderita..”, lanjutnya seraya memeluk dan mengelus-elus rambutku dengan penuh kasih sayang. Aku semakin sedih merasakan ini. Tetapi ini bukan hanya salahnya. Aku pun berandil besar dalam kesalahan ini. Aku tidak bisa menyalahkannya saja. Aku harus jujur dan adil menyikapinya.
“Bapak tidak salah. Novi yang salah..”, kataku kemudian.
“Tidak sayang. Bapak yang salah…”, katanya besikeras.
“Kita, Yah. Kita sama-sama salah”, kataku sekaligus memintanya untuk tidak memperdebatkan masalah ini lagi.
“Terima
kasih sayang”, kata mertuaku seraya menciumi wajah dan bibirku.
Kurasakan ciumannya di bibirku berhasil membangkitkan kembali gairahku. Aku masih penasaran dengannya. Sampai saat ini mertuaku belum juga mencapai puncaknya. Aku seperti mempunyai utang yang belum terbayar. Kali ini aku bertekad keras untuk membuatnya mengalami kenikmatan seperti apa yang telah ia berikan kepadaku.
Kurasakan ciumannya di bibirku berhasil membangkitkan kembali gairahku. Aku masih penasaran dengannya. Sampai saat ini mertuaku belum juga mencapai puncaknya. Aku seperti mempunyai utang yang belum terbayar. Kali ini aku bertekad keras untuk membuatnya mengalami kenikmatan seperti apa yang telah ia berikan kepadaku.
Aku tak
sadar kenapa diriku jadi begitu antusias untuk melakukannya dengan sepenuh
hati. Biarlah terjadi seperti ini, toh mertuaku tidak akan selamanya berada di
sini. Ia harus pulang ke Amerika. Aku berjanji pada diriku sendiri, ini
merupakan yang terakhir kalinya.
Timbulnya pikiran ini membuatku
semakin bergairah. Apalagi sejak tadi mertuaku terus-terusan menggerakan
kontolnya di dalam memekku. Tiba-tiba saja aku jadi beringas. Kudorong tubuh
mertuaku hingga terlentang. Aku langsung menindihnya dan menicumi
wajah, bibir dan sekujur tubuhnya. Kembali kuselomoti batang kontolnya yang
tegak bagai tiang pancang beton itu. Lidahku menjilat-jilat, mulutku
mengemut-emut. Tanganku mengocok-ngocok batangnya.
Kulirik
kewajah mertuaku kelihatannya menyukai perubahanku ini. Belum sempat ia akan
mengucapkan sesuatu, aku langsung berjongkok dengan kedua kaki bertumpu pada
lutut dan masing-masing berada di samping kiri dan kanan tubuh mertuaku.
Selangkanganku berada persis di atas batangnya.
“Akh
sayang!” pekik mertuaku tertahan ketika batangnya kubimbing memasuki liang
memekku. Tubuhku turun perlahan-lahan, menelan habis seluruh batangnya.
Selanjutnya aku bergerak seperti sedang menunggang kuda. Tubuhku melonjak-lonjak
seperti kuda binal yang sedang birahi.
Aku tak
ubahnya seperti pelacur yang sedang memberikan kepuasan kepada hidung belang.
Tetapi aku tak perduli. Aku terus berpacu. Pinggulku bergerak turun naik,
sambil sekali-sekali meliuk seperti ular. Gerakan pinggulku persis seperti
penyanyi dangdut dengan gaya ngebor, ngecor, patah-patah, bergetar dan entah
gaya apalagi. Pokoknya malam itu aku mengeluarkan semua jurus yang kumiliki dan
khusus kupersembahkan kepada ayah mertuaku sendiri!
“Ooohh… oohhhh… oooouugghh.. Noviiiii.., luar biasa…..!!!” jerit mertuaku merasakan hebatnya permainanku.
“Ooohh… oohhhh… oooouugghh.. Noviiiii.., luar biasa…..!!!” jerit mertuaku merasakan hebatnya permainanku.
Pinggulku
mengaduk-aduk lincah, mengulek liar tanpa henti. Tangan mertuaku mencengkeram
kedua buah dadaku, diremas dan dipilin-pilin, sehingga air susuku keluar jatuh
membasahi dadanya.
Ia lalu bangkit setengah duduk. Wajahnya dibenamkan ke atas dadaku. Menjilat-jilat seluruh permukaan dadaku yang berlumuran air susuku dan akhirnya menciumi putting susuku. Menghisapnya kuat-kuat sambil meremas-remas menyedot air susuku sebanyak-banyaknya.
Ia lalu bangkit setengah duduk. Wajahnya dibenamkan ke atas dadaku. Menjilat-jilat seluruh permukaan dadaku yang berlumuran air susuku dan akhirnya menciumi putting susuku. Menghisapnya kuat-kuat sambil meremas-remas menyedot air susuku sebanyak-banyaknya.
Kami berdua
saling berlomba memberi kepuasan. Kami tidak lagi merasakan dinginnya udara
meski kamarku menggunakan AC. Tubuh kami bersimbah peluh, membuat tubuh kami
jadi lengket satu sama lain. Aku berkutat mengaduk-aduk pinggulku. Mertuaku menggoyangkan
pantatnya. Kurasakan tusukan kontolnya semakin cepat seiring dengan liukan
pinggulku yang tak kalah cepatnya. Permain kami semakin meningkat dahsyat.
Sprei
ranjangku sudah tak karuan bentuknya, selimut dan bantal serta guling terlempar
berserakan di lantai akibat pergulatan kami yang bertambah liar dan tak
terkendali. Kurasakan mertuaku mulai memperlihatkan tanda-tanda.
Aku semakin
bersemangat memacu pinggulku untuk bergoyang. Mungkin goyangan pinggulku akan
membuat iri para penyanyi dangdut saat ini. Tak selang beberapa detik kemudian,
aku pun merasakan desakan yang sama. Aku tak ingin terkalahkan kali ini.
Kuingin ia pun merasakannya. Tekadku semakin kuat. Aku terus memacu sambil
menjerit-jerit histeris. Aku sudah tak perduli suaraku akan terdengar
kemana-mana. Kali ini aku harus menang! Upayaku ternyata tidak percuma.
Kurasakan tubuh mertuaku mulai
mengejang-ngejang. Ia mengerang panjang. Menggeram seperti harimau terluka. Aku
pun merintih persis kuda betina binal yang sedang birahi.
“Eerrgghh.. ooooo….ooooooo…..oooooouugghhhhhh..!!!!” mertuaku berteriak panjang.
Tubuhnya menghentak-hentak liar. Tubuhku terbawa goncangannya. Aku memeluknya erat-erat agar jangan sampai terpental oleh goncangannya. Mendadak aku merasakan semburan dahsyat menyirami seluruh relung vaginaku. Semprotannya begitu kuat dan banyak membanjiri liangku. Akupun rasanya tidak kuat lagi menahan desakan dalam diriku. Sambil mendesakan pinggulku kuat-kuat, aku berteriak panjang saat mencapai puncak kenikmatan berbarengan dengan ayah mertuaku.
“Eerrgghh.. ooooo….ooooooo…..oooooouugghhhhhh..!!!!” mertuaku berteriak panjang.
Tubuhnya menghentak-hentak liar. Tubuhku terbawa goncangannya. Aku memeluknya erat-erat agar jangan sampai terpental oleh goncangannya. Mendadak aku merasakan semburan dahsyat menyirami seluruh relung vaginaku. Semprotannya begitu kuat dan banyak membanjiri liangku. Akupun rasanya tidak kuat lagi menahan desakan dalam diriku. Sambil mendesakan pinggulku kuat-kuat, aku berteriak panjang saat mencapai puncak kenikmatan berbarengan dengan ayah mertuaku.
Tubuh kami
bergulingan di atas ranjang sambil berpelukan erat. Saking dahsyatnya, tubuh
kami terjatuh dari ranjang. Untunglah ranjang itu tidak terlalu tinggi dan permukaan
lantainya tertutup permadani tebal yang empuk sehingga kami tidak sampai
terkilir atau terluka.
“Oooooogggghhhhhhh.. yaahh..,nik….nikkkk nikmaatthh…. yaaahhhh..!!!!” jeritku tak tertahankan.
Tulang-tulangku serasa lolos dari persendiannya. Tubuhku lunglai, lemas tak bertenaga terkuras habis dalam pergulatan yang ternyata memakan waktu lebih dari 2 jam!
Gila! Jeritku dalam hati. Belum pernah rasanya aku bercinta sampai sedemikian lamanya. Aku hanya bisa memeluknya menikmati sisa-sisa kepuasan. Perasaanku tiba-tiba terusik.
“Oooooogggghhhhhhh.. yaahh..,nik….nikkkk nikmaatthh…. yaaahhhh..!!!!” jeritku tak tertahankan.
Tulang-tulangku serasa lolos dari persendiannya. Tubuhku lunglai, lemas tak bertenaga terkuras habis dalam pergulatan yang ternyata memakan waktu lebih dari 2 jam!
Gila! Jeritku dalam hati. Belum pernah rasanya aku bercinta sampai sedemikian lamanya. Aku hanya bisa memeluknya menikmati sisa-sisa kepuasan. Perasaanku tiba-tiba terusik.
Sepertinya
aku mendengar sesuatu dari luar pintu kamar, kayaknya si Inah…. Karena
mendengar suara ribut-ribut dari kamar, rupanya ia datang untuk mengintip….
tapi aku sudah terlalu lelah untuk memperhatikannya dan akhirnya tertidur dalam
pelukan mertuaku, melupakan semua konsekuensi dari peristiwa di sore ini di
kemudian hari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar